Senyap

fitrahbukhari
7 Min Read

Cuma dua film di dunia ini yang paling ku nanti kehadirannya. Pertama, serial BBC, sherlock holmes yang terbit tiap 2 tahun sekali di layar kaca Inggris. Kedua adalah serial lanjutan dari sutradara film dokumenter, Joshua Oppenheimer, The look of silence (senyap).

Yang kedua ini baru aku tonton tadi sore (10-12-2014) di Taman Budaya Yogyakarta dalam rangka festival film dokumenter. Adalah “catatan pinggir” Goenawan Muhammad (GM) di majalah Tempo beberapa bulan lalu yang kemudian memaksaku untuk menontonnya. Selain memang di majalah itu ada resensi film ini, yang beberapa waktu sebelumnya telah menyabet beberapa penghargaan festival film internasional, di sana, GM  memberikan catatan khasnya terhadap film ini. sebagaimana jamak diketahui, bahasa GM memang mengambang, melangit, tak terjejak ke bumi. namun ternyata disitulah letak kekuatannya, ia mampu untuk memaksa orang untuk mencari lebih dalam dari apa yang telah dituliskannya dalam sebuah tulisan. Sebagai seorang provokator, ia sungguh berhasil membuat pembaca uring-uringan dengan gaya tulisannya.

Adalah Adi Rukun, yang berprofesi sebagai tukang optik keliling yang menjadi tokoh utama dalam film ini. Adi merupakan adik dari Ramli, salah satu korban pembantaian terhadap orang-orang yang dituduhkan menjadi PKI di sekitar tahun 1966, di kabupaten Deli Serdang, Puluhan kilometer dari kota Medan. Ramli, begitu nama abang si adi ini, entah kenapa tiba-tiba didakwa terlibat dalam gerakan PKI. Saat terjadi pembantaian, ku rasa, bagi eksekutor, Ramli merupakan man of the match dari para korban pembantaian.

Bagaimana tidak, ia telah ditusuk lubang anusnya, kemudian pinggangnya dihujam pisau berkali-kali hingga terlihat ususnya, dan dibuang ke dalam sungai, namun berbekal pegangan pada ranting di pinggir sungai, ia mampu melarikan diri dan kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, ia bertemu ibunya yang kaget melihat kondisinya yang parah seperti itu. Ramli malah meminta dibuatkan kopi, setelah air mendidih, beberapa orang datang menjemput ramli di rumahnya. Katanya mau dibawa ke rumah sakit untuk diobati penyakitnya, ibunya tidak mengizinkan, namun beberapa orang tersebut tetap membawa ramli. Ramli akhirnya digelandang ke dalam truk kembali, dan disanalah sebuah tebasan parang tepat di kelaminnya mengakhiri kontraknya di bumi sebagai manusia, dengan naas.

Film ini jauh lebih kelam dibanding serial pertama karya oppenheimer yang berjudul The Act of Killing, yang menceritakan bagaimana cara membunuh dengan “manusiawi”, dan agar tak banyak menimbulkan darah. Film pertama oppenheimer juga banyak diselingi nuansa komedi khas medan, yang bangga akan kebrutalan mereka-sebuah paradigma yang tak tepat menurutku dari mindset beberapa orang di kota kelahiranku tersebut. Serial kedua ini lebih banyak menyoroti si tokoh utama tadi, Adi Rukun. Coba seandainya kita bayangkan, ada keluarga kita yang dibantai dengan sadis, barangkali kita akan benci setengah mati dengan pembunuhnya itu.

Terkecuali adi nampaknya, ia benci, namun kebenciannya sudah menguap seiring penderitaan keluarganya. Adi mungkin sudah lupa bagaimana perasaan benci pada pembantai kakanya tersebut. Paling menyentuh adalah justru ketika Adi Rukun mewawancarai para pembantai yang ditugaskan untuk itu di tahun 1966. Tidak ada ekspresi sebelumnya pada wajah adi, walau dari rahangnya sudah terlihat ada kekesalan mendalam. Dari sorot matanya terlihat bingung, sembari bertanya, mengapa mereka tak sedikitpun merasa bersalah atas pembantaian ratusan orang itu? Apa mereka tidak memikirkan bagaimana nasib keluarga yang telah ditinggalkan karena mereka bantai dan atas dasar asumsi bahwa mereka terlibat G 30 S.

Adi tetap tabah, karena tujuan utamanya bukan ingin show off, tetapi untuk mencari motif apa sebenarnya yang membuat para penjagal itu ringan tangan untuk membunuh nyawa manusia. Beberapa kali terlihat adi memang tak bisa menahan emosinya, hingga membuat si penjagal tak senang dan marah kemudian tidak bersedia diwawancara olehnya. Hingga mungkin, karena tidak tahan melihat perasaan innocent si penjagal tadi, ia pun berkata, “abangku, Ramli, termasuk yang kalian bunuh”.

Sontak berbagai macam ekspresi ditunjukkan para penjagal. Ada yang seketika merebahkan kepala di bantalan sofa mereka, ada yang langsung memperlihatkan wajah kaget tak percaya setengah mati. Ada juga yang sontak memohon maaf, sebuah kata yang sudah tiada artinya bagi Adi. Namun yang tak ku habis fikir, ada juga yang berkilah, seakan dari pembicaraan berbelitnya itu ia berkata, “terus kau mau apa?, kami hanya melaksanakan tugas, pengambil keputusan itu di atas, kami Cuma wayang pelaksana”.

Kekuatan film ini terletak pada kealamian para pemeran di dalamnya. Jangan diharap kita bisa melihat kamuflase dari para pemainnya, mereka semua berperan dengan sebagaimana adanya. Marah, tertawa, bangga karena menjadi pembunuh PKI, yang menurut mereka merupakan “Anak Haram” dari rahim peradaban Indonesia. bahkan hingga tetesan air mata Adi Rukun ketika berhadap-hadapan dengan anak dari si pembunuh abangnya, Ramli.

Termasuk kealamian kesenyapan adi, berhadapan dengan para pembunuh abangnya, sebuah ekspresi yang tidak lagi mampu menampung gejolak dalam jiwa. Kesenyapan, satu-satunya yang bisa Adi tampilkan di tengah kekecewaan mendalam akibat pembantaian kakaknya. Dan, tidak lagi ada yang bisa dilakukan Adi, selain mencoba untuk tidak mengingat-ngingat peristiwa itu lagi. (me)Lupa(kan), merupakan salah satu jalan terbaik agar dapat membebaskannya dari bayangan kelam tersebut.

Terlepas dari segala brutalitas yang diceritakan di film senyap ini, aku menangkap satu hal. Bahwa ternyata nyawa manusia di Indonesia, pernah tak bernilai. Akibat politik, ambisi kuasa segelintir orang untuk mempertahankan kuasanya, nyawa ribuan manusia Indonesia habis melayang ke angkasa. Revolusi harus tetap ada, dan revolusi selalu membutuhkan nyawa untuk dijadikan tumbal. Dan mereka, para korban yang dibantai, merupakan anak-anak revolusi yang dikorbankan negara untuk menjadi bahan bakar kesejahteraan. Mereka merupakan kayu bakar dari gejolak api yang harus senantiasa dihidupkan untuk mendapatkan sebuah nama, stabilitas.

Meraka, sejatinya adalah anak-anak revolusi yang meregang nyawa, bahkan tidak sempat melakukan pembelaan. Para korban pembantaian tidak sempat berpamitan pada keluarga yang tidak akan ia lihat untuk selama-lamanya. Namun di atas semua itu, film ini menyadarkan kita, bahwa sebagai bangsa, kita pernah mengkhianati secara telak salah satu point ideologi falsafah negara yang digali oleh para pendiri Indonesia ketika merumuskan bangsa ini. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Share This Article