Memandang Muhammad Tanpa Wahyu

fitrahbukhari
6 Min Read

Bagi umat Islam, keberadaan nabi Muhammad berada pada posisi terhormat. Beliau merupakan utusan Allah untuk seluruh ummat manusia, yang menyempurnakan ajaran-ajaran Ilahi yang telah dibawa oleh para pendahulunya. Kitab suci Al-Qur’an, diturunkan melalui perantara tubuh Muhammad setelah sebelumnya disampaikan melalui jibril. Pembahasaan Qur’an dari Muhammad yang diyakini dari Allah menjadi sebuah manuskrip suci yang diturunkan ke bumi.

Sebagai pembeda, petunjuk untuk mereka yang mengaku beriman kepada Allah. Namun yang tidak pernah disadari oleh ummat Islam adalah, Muhammad juga seorang manusia biasa. memang benar Muhammad merupakan utusan Allah, namun bagaimana muhammad berhasil menguasai jazirah arab hanya dalam kurun waktu dua dekade tentu tidak semata merupakan kawalan wahyu saja. Secara sosiologis, Muhammad pastinya tidak lepas dari konteks pada zamannya saat itu.

Bagaimana Muhammad, seorang bocah yang tersisih dari masyarakatnya sendiri kemudian berada padaepicentrum kuasa masyarakatnya. Serta mampu untuk menjadikan masyarakatnya menjadi masyarakat madani, belum pernah dibahas secara murni. Bagaimana laki-laki yang terusir dari Mekkah, mengubah pengasingan menjadi awal baru dan penuh kemenangan untuk kemudian disambut kembali dalam waktu singkat sebagai pahlawan.  Kekuatan mental Muhammad ternyata tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melingkupinya.

Sebagai seorang Arab tulen, Muhammad ternyata mengalami kontestasi yang cukup sengit di dalam dirinya hingga menjadikannya menjadi seorang outsider yang perlahan merangsek masuk menjadi insider. Kelahiran tanpa ayah dalam sebuah wilayah yang menganggap penting sebuah keturunan jelas menjadi tempaan mental untuk Muhammad kecil. Hal yang sering dilupakan orang (atau dianggap tidak penting) bagi penulis biografi Muhammad adalah bahwa kenyatan Nabi sedari kecil hingga berusia lima tahun dibesarkan dalam lingkungan suku Baduy. Adalah Halimah, yang merupakan ibu susu Nabi yang mengasuh dan menempanya dalam lingkungan Baduy yang terkenal keras.

Kemurnian kehidupan gurun yang banyak dipuji-puji penyair arab yang mereka anggap sebagai “arab” sejati, lengkap dengan nilai kehormatan, kebanggaan, kesetiaan, kemandirian, keberanian menantang kehidupan yang keras merupakan inti dari budaya baduy yang turut serta membentuk keperibadian Muhammad. Pembelajaran lima tahun menjadi “putra padang pasir”, menjadikannya belajar akan kesederhanaan. Kehidupan keras padang pasir membuat setiap orang yang sedang berada disana menjadi orang yang sederhana. Padang pasir mengajarkan bahwa ada kuasa yang lebih tinggi daripada manusia (hal. 35).

Pasca asuhan Halimah, Muhammad dikembalikan kepada ibu kandungnya, Aminah. Butuh waktu untuk Muhammad kecil beradaptasi pada lingkungan yang penuh dengan kompleksitas. Jika sebelumnya Muhammad ditempa menjadi bocah alami, kini ia dipaksa untuk memahami bahwa Mekkah-yang pada saat itu menjadi kota metropolitan-merupakan tempat aslinya. Pengalaman kealamian gurun pasir serta merta menjadi beban tersendiri bagi Muhammad yang masuk dalam pusaran metropolitan Mekkah.

Belum lagi ia memahami konstelasi Mekkah, ia harus dihadapkan pada kenyataan pahit untuk seorang anak berusia tujuh tahun, ibu kandungnya meninggal dunia. Pasca meninggal ibu kandungnya, Muhammad secara bergantian diasuh oleh kakek dan pamannya. Dalam asuhan keduanya, Muhammad tumbuh perlahan menjadi seorang enterpreuner. Titian karier menjadi seorang enterpreunermuhammad dimulai dari mengurus unta susu. Pengalaman lima tahun hidup di suku Baduy, amat membantu Muhammad dalam mengelola unta yang dikenal sulit diatur. Setelah dianggap mampu mengelola unta susu Muhammad oleh pamannya, Abu Thalib dipercaya menjadi “pawang” unta jantan yang bertugas untuk membawa kafilah dagang. Dari sinilah kepercayaan Abu Thalib kepada Muhammad semakin bertumbuh.

Hingga kemudian Muhammad dipercaya menjadi delegasi kafilah dagang Abu Thalib, yang dikemudian hari memberikan pelajaran penting dari sebuah “negosiasi” yang turut berperan besar dalam penyebarluasan Islam di jazirah arab.

Membaca buku ini, memberikan pandangan yang segar kepada Muhammad, sehingga dalam membacanya seakan kita merasa dekat dengan Muhammad. Berbagai sisi lain kemanusiaan Muhammad yang dihadirkan disini bukan justru malah meredusir predikatnya sebagai utusan Allah, melainkan semakin meyakinkan ummat Islam, bahwa Muhammad merupakan sosok yang paripurna.

Buku setebal 384 halaman ini dibagi dalam tiga bagian kehidupan Muhammad, bocah yatim, masa pengasingan dan sang pemimpin. Sebuah klasifikasi yang tak lazim bagi penulisan biografi, namun sebenarnya tidak mengurangi esensi dari buku ini. Namun begitu, buku ini sedikit melupakan kedetailan sumber dari tiap data yang didapatkan. Satu contoh sumber dari keluarnya “ayat-ayat setan” dari Muhammad yang mengalami kegalauan luar bisa saat dirinya dianggap menjadi biang keladi perpecahan di tubuh kaum Quraisy. (hal. 152).

Namun secara keseluruhan, buku ini menyajikan detail kontestasi Muhammad dengan para penduduk Madinah yang ternyata tidak mutlak sepaham dengannya. Adalah Ibnu Ubay yang kemudian menjadi sosok “oposisi” terhadap Muhammad yang cukup mengganggu stabilitas kepemimpinan Muhammad di Madinah. Akhirnya, dapat menjawab secara “rasional”, mengapa Muhammad dalam kurun waktu dua dekade mampu untuk menyatukan jazirah arab, yang saat itu berada dalam kontestasi dua imperium besar, Romawi dan Byzantium. Untuk kemudian pasca wafatnya, “kader-kader”nya mampu menyatukan kedua imperium besar dunia tersebut.

Judul Buku      : Muslim Pertama: Melihat Muhammad Lebih Dekat
Penulis             : Lesley Hazleton
Penerbit           : PT Pustaka Alvabet
Halaman          : 384 halaman
Cetakan           : Pertama, Juni 2013

Share This Article