Cendekiawan Berpribadi

fitrahbukhari
7 Min Read
ilustrasi dari growthengineering.co.uk

Banyak yang mengungkapkan bahwa IMM tidak memiliki identitas atau tagline untuk melambangkan dirinya. kita memang punya pekik “JAYA!!!” yang diucapkan saat disebutkan kata IMM. Pernah ada yang mengusulkan untuk menyebut IMM sebagai “intelektual profetik” yang didapat dari buku M. Abdul Halim Sani, Manifesto gerakan intelektual profetik. Tetapi penggunaan itu-pun masih harus rebutan dengan gerakan lain yang secara tidak sengaja saya lihat menggunakan tagline itu di jaket kebanggaan mereka. Malang nian nasib IMM, seperti tidak memiliki tagline untuk mendefinisikan siapa dan bagaimana dirinya.

Padahal, hemat saya, tidak perlu kita membongkar teori profetik kuntowijoyo, tidak usah pula membongkar teori-teori barat untuk membedah siapa diri kita. Ibarat orang tersesat di dalam rumah, kita harus menemukan kunci di dalam rumah, jangan pula mencarinya di luar rumah.

Dalam mars IMM, (yang saya yakin banyak diantara kader yang tidak mengetahui siapa penciptanya), ada dua kata yang sebenarnya pantas untuk digali lebih dalam penggalan lirik “..niat ‘tlah diikrarkan, kitalah cendekiawan berpribadi…” saya yakin pencipta lagu Mars IMM tersebut menganggap bahwa kader IMM haruslah menjadi seorang cendekia yang memiliki kepribadian.

Pencipta mars IMM sadar betul bahwa tujuan IMM bukanlah menciptakan politisi handal, atau juru dakwah yang gemar mengkafirkan orang, tetapi tujuan IMM adalah mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlaq mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah (menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya).

Dalam tujuan Muhammadiyah tersebut, terlihat peran IMM yang bertindak sebagai penyangga Muhammadiyah dari sisi intelektualitas yang mumpuni serta berakhlaq mulia. Karenanya, konsep “cendekiawan berpribadi”, adalah Primus Interpares yang dilahirkan dari rahim perkaderan  IMM, yang bisa dipersembahkan untuk mendukung terciptanya tujuan Muhammadiyah tersebut.

Cendekiawan berpribadi

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, cendekiawan berarti orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berfikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Tambahan pribadi memberikan penegasan sifat yang khusus, tidak mudah menyerah dan memiliki karakter. Secara tafsir lateral maka cendekiawan berpribadi berarti orang yang selalu meningkatkan kemampuan berfikirnya untuk memahami sesuatu dan menggunakan hasil berfikirnya tersebut secara berkarakter.

Cendekiawan berpribadi memiliki konsekuensi bahwa hasil pemikiran kader lahir dari sikap refleksi tanpa ada tendensi pragmatis. Pribadi merupakan pengunci dan pembeda dengan para cendekiawan lain yang memiliki sikap mendua. Kita dapat melihat, betapa banyak orang pintar saat ini di Indonesia, tetapi orang yang memiliki kepribadian amat langka lahir dan berkiprah di bumi pertiwi. Ia pintar untuk dirinya, kelompoknya, menggunakan keilmuannya untuk menguntungkan kelompok tertentu, tetapi abai jika diajak berfikir untuk membangun komunitasnya. Mereka,-yang meminjam istilah Buya Maarif adalah orang “rabun ayam”-yang hanya mampu melihat yang dekat, harus diganti dengan intelektual yang ibarat memiliki pandangan setajam garuda, visioner dan menembus batas.

Cendekiawan berpribadi adalah antitesa cendikiawan mendua ini, Ia menggunakan keilmuannya untuk menolong yang lain, sikapnya lahir dari hasil kontemplasi terhadap lingkungan sekitar yang telah bobrok. Pemikirannya berada di menara gading, tapi gerakannya, radikal menembus bumi. Pada satu waktu ia mudah berbicara dengan civitas akademika dengan teori-teori akademik yang mapan. Tapi di sisi lain, ia mampu berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh tukang becak, pedagang pasar dan pengemis di jalalan.

Langkah menuju cendekiawan berpribadi

Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana caranya menjadi cendekiawan berpribadi? IMM telah berusia 51 tahun, telah pula memiliki struktur yang mapan hingga ke tingkat fakultas di universitas yang tersebar di seluruh Kab./Kota di Indonesia. Pembidikan pada tingkat fakultas inilah yang harus dijadikan fokus. Karena selama ini terlihat ada kecenderungan kader dari fakultas sains di tingkat strata 1 lantas menyerah dan melompat ke keilmuan sosial ketika melanjutkan perkuliahan di tingkat lanjut.

Bahkan ada yang ditemui tidak mampu menyelesaikan keilmuannya di bidang sains hingga yudisium, karena telah keburu larut dalam diskusi-diskusi sosial dan politik, hingga akhirnya memutuskan untuk pindah ke fakultas dalam rumpun keilmuan humaniora. Hal ini berdampak negatif pada timbulnya aktivis kritis di tataran mahasiswa di fakultas sains. Harusnya, kader IMM baik di fakultas sains maupun sosial adalah kader yang ahli di bidangnya. Misalnya kader IMM di fakultas fisika, mereka “ngelotok” berbicara teori kuantum, teori gerak maupun konsep lima dimensi, tapi di sisi lain mereka juga “ngelotok” berdiskusi soal Islam dan Teologi Pembebasan ala Asghar Ali Enggineer.

Kader IMM di fakultas Psikologi, mereka ahli berbicara matang dengan dosennya tentang tingkat Psikologi Humanistik ala Abraham Maslow, dan di sisi lain mereka tidak canggung berdialog dengan orang yang mengidap penyakit Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa.

Penggiatan diskusi masing-masing keilmuan di tingkat fakultas inilah menjadi penentu bagi terciptanya cendekiawan berpribadi secara berjenjang. Tidak ada salahnya, bidang Keilmuan DPP IMM menginisiasi adanya semacam Simposium Nasional Mahasiswa Muhammadiyah di masing-masing rumpun keilmuan.

Misalnya, adanya pertemuan nasional Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Hukum seluruh Indonesia, membicarakan tentang “Akses menuju keadilan bagi penyandang disabilitas di Indonesia”. Atau mengadakan penelitian bersama Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Psikologi tentang dampak kerusakan otak akibat pornografi bagi anak di sekolah Muhammadiyah di masing-masing kota. Dengan begitu, kader-kader di tingkat komisariat akan semakin giat meningkatkan kualitas keilmuannya dengan tidak kehilangan jati dirinya sebagai aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Sejarah Umat telah menuntut bukti

Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlaq mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah telah disepakati sebagai arah gerak IMM. Jika ditelaah, arah ini like or dislike memaksa setiap kader untuk tetap menjadi akademisi yang fokus pada ladang garap keilmuannya. Adapun IMM adalah tempat untuk menempa apa yang telah didapatkan di akademik untuk dipoles dengan “akhlak mulia” serta memiliki kepribadian dalam menentukan sikap sebagai akademisi.

Akademisi yang dimaksud bukan saja yang tinggal nyaman di menara gading ilmu pengetahuan, tetapi adalah mereka yang sama baiknya berbicara di forum ilmiah dengan berbicara bersama masyarakat pinggiran. Sejarah umat telah menuntut bukti, memanggil kita untuk menjadi Cendekiawan berpribadi yang mampu menelurkan solusi di tengah gersangnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang tuna  moral di era kontemporer ini. Cendekiawan berpribadi juga dapat menjadi oase identitas bagi IMM di tengah kebingungan mencari identitas dalam melaksanakan aktivitasnya. Cendekiawan berpribadi adalah akademisi Islam yang berakhlaq mulia yang menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Share This Article