Agenda Amandemen Kelima: Revitalisasi MPR

fitrahbukhari
5 Min Read

Terlepas dari polemik yang timbul pasca revisi UU MD3, sebenarnya ada sebuah permasalahan fundamental dalam bangunan sistem parlemen Indonesia. Pasca perubahan UUD 1945, Indonesia tidak lagi menganut sistem “pembagian kekuasaan”, melainkan berubah menjadi “pemisahan kekuasaan”.

Perbedaan keduanya adalah jika dalam sistem pembagian kekuasaan, terdapat sebuah lembaga yang menjadi asal kekuasaan, dari lembaga tersebut, dibagikan kekuasaan kepada lembaga-lembaga lain. Sedangkan konsepsi pemisahan kekuasaan berarti bahwa semua lembaga setara tingkatannya, tiada lembaga tertinggi yang menjadi asal kekuasaan.

Contoh riil dari sistem pembagian kekuasaan, dapat dilihat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum perubahan UUD 1945. Didalam sistem tersebut, Indonesia memiliki sebuah lembaga yang menjadi asal mula kekuasaan, juga sebagai pengejawantah kedaulatan rakyat, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat.

UUD NRI 1945: Lain kepala, lain badan

Seperti ada sebuah kekeliruan yang dibawa dalam proses amandemen UUD 1945, yakni memandang UUD 1945 sebagai produk hukum an sich. Padahal UUD 1945 tidak hanya sekedar produk hukum, namun sarat akan cita-cita, mimpi dan aspirasi bangsa (Seknas, 2014: 89). Salah satunya kekeliruannya adalah perubahan desain kelembagaan perwakilan rakyat yang telah dirancang dengan apik oleh para pendiri bangsa dalam rapat-rapat di BPUPKI.

Bahkan lebih parah lagi, kesepakatan untuk tetap mempertahankan pembukaan UUD 1945 dalam melakukan amandemen hanya berhenti pada tataran semantik. Padahal antara Pembukaan UUD 1945 sebelum amandemen dengan batang tubuh maupun penjelasan merupakan suatu kesatuan utuh. Apa yang ada dalam Pembukaan merupakan passion dari para pendiri bangsa untuk kemudian dimanifestasikan dalam batang tubuh maupun penjelasan UUD 1945.

Desain awal MPR sebagai wujud kehendak rakyat merupakan produk genuine dari para pendiri bangsa untuk mengakomodasi nilai-nilai kekeluargaan dalam bingkai kehidupan masyarakat nusantara. Hal ini juga merupakan turunan dari pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:

“…Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada …Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan…”

Jika membaca Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 sebelum amandemen, dengan jelas mencantumkan bahwa MPR menjadi locus pelaksanaan kedaulatan rakyat, juga menjadi tempat rakyat melakukan konsesus untuk mewujudkan cita luhurnya. Mengutip pidato bung Karno ketika sidang BPUPKI 1 Juni 1945, bahwa “tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidik kawah candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya.” Majelis inilah yang menjadi kawah pertentangan ide dan gagasan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Namun pasca perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi menjadi kawah candradimuka bagi ide dan gagasan anak bangsa. MPR kini tak ubahnya seperti “macan ompong” yang tidak berdaya menghadapi kedigdayaan kedaulatan politik. Semangat “kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” ketika mendesain lembaga perwakilan rakyat, kini telah diganti dengan semangat individualisme dengan dalih mekanisme check and balances, yang ternyata sumir untuk dijalankan.

Absurditas antara pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 juga terjadi dalam hal komposisi anggota MPR. Dalam UUD 1945 sebelum perubahan, MPR terdiri dari anggota DPR ditambah dari utusan daerah dan utusan golongan. Hal ini jika dilihat dari pembukaan UUD 1945, akan sesuai dengan diktum “…segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”.

Para pendiri bangsa sedari dulu sadar betul bahwa bangsa Indonesia terdiri dari daerah, suku, maupun golongan yang beragam, karenanya keberadaan keragaman tersebut diakomodasi dalam lembaga Permusyawaratan rakyat sebagai locus pelaksana kedaulatan rakyat. Berbeda drastis dari hal tersebut, kini pasca perubahan UUD 1945, komposisi MPR menghilangkan utusan golongan, dan hanya terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD.

Revitalisasi MPR dalam amandemen kelima

Jika melihat paradoks antara pembukaan dan bunyi Pasal-Pasal dalam UUD 1945, maka dapat diambil simpulan bahwa kini, “ruh” yang ada dalam Pembukaan UUD 1945, berlainan badan dengan turunan pasal-pasalnya. Karenanya pasca pemilu legislatif maupun pilpres 2014 ini, merupakan golden moment bagi MPR untuk melakukan amandemen kelima UUD 1945.

Adapun substansi urgent yang harus dirubah adalah pertama, me-revitalisasi kedudukan MPR RI. Menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara kembali dengan komposisi memberikan akomodasi terhadap golongan-golongan marjinal seperti suku-suku daerah pedalaman, kaum cendikiawan, serta organisasi non-politik. Kedua, menghadirkan kembali GBHN sebagai grand design pembangunan bangsa Indonesia. Ketiadaan GBHN selama 10 tahun belakangan menjadikan Indonesia ibarat kapal yang tidak memiliki kompas.

Karenanya keberadaan GBHN menjadi penting untuk menjadi tuntunan arah pembangunan bangsa Indonesia. Diharapkan dengan melakukan amandemen kelima dengan dua agenda utama ini, pemerintahan hasil pilihan rakyat, dapat bekerja optimal dan benar-benar menjadi kanalisasi kepentingan masyarakat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (foto: sindonews.net)

Share This Article