Paradigma Islam: Solusi Untuk Semua

fitrahbukhari
7 Min Read
gambar (1.bp.blogspot.com/)

Awalnya saya agak sedikit ragu untuk menyelami lebih dalam mengenai buku ini. karena di awal tulisannya, Kuntowijoyo mengakui secara jujur bahwa buku ini lahir tidak melalui proses yang lazim seperti biasa dalam menulis buku lain. Buku ini lahir dari kegelisahan penulis mengenai gagasan “islamisasi pengetahuan” yang terkesan reaktif dalam slogan akhir-akhir ini marak diungkapkan pada khalayak.

Kunto menginginkan sebuah “pembongkaran” paradigma keilmuan Islam di berbagai sendi ilmu yang diajarkan, dengan membumikan Islam ke dalam tiap disiplin ilmu, di awal buku ini, penulis buku menawarkan istilah “pengilmuan Islam”, sebuah revolusi paradigma dari reaktif ke proaktif.

Dalam permulaan pembahasannya, buku yang berasal dari berbagai artikel kuntowijoyo yang tersebar ke dalam beberapa buku ini, menghadirkan pentingnya demistifikasi Islam. Artinya, tidak seharusnya lagi agama menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang berada di menara gading, agama harus turun dan terlibat aktif dipergunakan untuk membedah realitas yang terjadi sekarang. Demistifikasi dimaksudkan untuk menggerakkan intelektual guna menjembatani kembali teks dengan konteks, agar terjadi kesinambungan antara keduanya (hal. 10).

Pentingnya menggunakan paradigma Al-Qur’an menjadi sebuah ilmu menurut kunto merupakan suatu keharusan, dikarenakan untuk membangun perspektif al-qur’an dalam membedah realitas. Karena pembeda epistemologi Islam dengan barat ialah Islam menghadirkan wahyu.  Bahkan wahyu menjadi unsur penting, dan menempati posisi sebagai salah satu petunjuk konstruk mengenai realitas untuk selanjutnya menjadi unsur konstitutif dalam paradigma Islam. Dikarenakan dalam al-Qur’an terdapat wahyu, maka qur’an memiliki sturktur transendental, yakni sebuah ide normatif dan filosofis yang mampu dirumuskan menjadi paradigma teoritis.

Dalam buku ini, penulis juga menghadirkan kritik terhadap beberapa golongan yang mencoba menolak secara mentah-mentah hasil peradaban barat guna membedah realitas umat. Kunto menulis, meminjam (hasil peradaban lain, pen.) itu sah adanya, karena dengan meminjam kita tidak harus menjadi orang lain (hal. 23). Dalam konteks ilmu, Islam sangat menganjurkan keterbukaan, hanya saja kecerdasan umat harus dipergunakan secara sadar untuk membaca kerangka epistemik yang berada di belakang pengetahuan yang dipinjam itu, guna menghidari bias filosofis dan paradigmatik yang melekat dalam tradisi yang dipinjam.

Kunto juga mencontohkan bagaimana Islam pernah meminjam “logika yunani”, sistem pemerintahan dari persia. Khusus yang terakhir, ada hal menarik yang diungkap kunto, selama ini umat Islam memandang pemerintahan monarki muawiyyah merupakan awal mula dari kemerosotan dalam sistem pemerintahan internal umat Islam. Namun apa yang dilakukan muawiyyah ini sebenarnya merupakan “keharusan historis” yang tidak bisa untuk tidak ditempuh. Dikarenakan dahulu teknologi informasi belum semasif sekarang, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh guna mengkordinir kekuasaan Islam yang sedemikian luasnya akibat ekspansi (dakwah) ialah dengan sistem monarki.

Penulis buku menggambarkan bagaimana awal mula paradigma keimuan yang sekarang sedang menjadi –meminjam istilah Thomas Kuhn- normal science. Paradigma keilmuan sekarang menurutnya berasal dari filsafat barat yang menitikberatkan pada rasionalisme. Manusia merupakan awal dan akhir dari segala kehidupan ini. Alur ilmu sekuler digambarkan kunto seperti berikut, filsafat-antroposentrisme-diferensiasi-ilmu sekuler.

Filsafat merupakan awal pijakan, meniadakan tuhan dalam segala pemikiran, tuhan ada namun tidak berkuasa. antroposenstrisme merupakan cara dimana anggapan bahwa manusia merupakan sentral segalanya, diferensiasi merupakan produk antroposentrisme, yang menghendaki pemisahan segala bentuk yang “rasional” (baca: pemikiran manusia) dengan irasional (baca: wahyu tuhan) dari semua segi kehidupan. Pada fase ini kebenaran ilmu terletak dalam ilmu itu sendiri. Adapun merupakan ilmu sekuler merupakan “magnum opus” dari manusia yang memberhalakan pada pemikiran rasionalitas.

Adapun yang akan menjadi revolusi –meminjam istilah Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution– sekaligus antitesis dari ilmu sekuler ialah ilmu integralistik yang akan menjadi masa depan dunia. Ilmu integralistik berangkat dari agama-teoantroposentrisme-dediferensiasi-ilmu integralistik. Ilmu integralistik mencoba kembali untuk menghadirkan agama dalam paradigma keilmuannya, dikarekanan agama merupakan wahyu Tuhan yang mengatur etika, hubungan sosial, menurut penulis buku, Wahyu Tuhan yang terkodifikasi dalam kitab suci dapat dijadikan Grand Theory.

Teoantroposentrisme menganggap bahwa sumber pengetahuan ada dua macam, berasal dari Tuhan dan manusia, oleh karenanya keduanya haruslah berkesinambungan penggunaannya, tidak bijak jika menitikberatkan pada satu sumber. Dediferensiasi merujuk pada penyatuan kembali antara agama dengan seluruh sektor kehidupan yang dalam kehidupan modern dibuang jauh kedalam limbo sejarah manusia. Adapun ilmu integralistik merupakan hasil dari kerangka fikir “kaum beriman”. Yakni penggabungan antara wahyu tuhan dengan temuan fikiran manusia.

Dalam rangka melakukan demistifikasi terhadap ajaran Islam kunto menyarankan pentingnya objektifikasi. Secara sederhana, objektifikasi bisa diartikan “membumikan Islam” ke dalam segala sendi keilmuan. Ajaran-ajaran luhur Islam dikatakan berhasil apabila umat non muslim merasa berkah dengan ajaran tersebut tanpa tahu dan sadar bahwa yang dilakukannya ialah ajaran Islam. Karena sejatinya Islam merupakan rahmat bagi semesta alam.

Berawal dari kegelisahannya terhadap dehumanisasi yang terjadi akibat modernitas kontemporer, penulis buku mencoba menggagas sebuah paradigma baru dalam menghadapi realitas kekinian. Dengan bahasa yang ringan dan tidak terlalu sulit untuk dimengerti, buku ini layak dijadikan bahan bacaan mahasiswa/praktisi pendidikan yang selama ini merasa “kering” atau bahkan termarginalkan dari paradigma keilmuan modern.

Gagasan ilmu sosial profetik merupakan hasil dari dialektika pemikiran kuntowijoyo yang coba untuk dikonstruk dalam buku ini. namun begitu kiranya, penulis buku perlu menghadirkan bagaimana metodologi keilmuan ilmu sosial profetik tersebut, agar kiranya ilmu ini mampu untuk diterapkan serta diaplikasikan untuk selanjutnya dikampanyekan secara bersama-sama oleh masyarakat ilmu.

Klaim ilmu integralistik yang berasal dari kerja intelektual orang “beriman” merupakan sebuah klaim yang berlebihan. Beriman atau tidaknya seseorang janganlah dibawa-bawa dalam perumusan sebuah ilmu, bisa jadi dengan klaim tersebut sebagian orang merasa antipati terhadap gagasan yang dibawa. seperti faham objektifikasi yang dikampanyekan penulis buku, dimana orang yang tidak beriman pun harusnya mampu untuk merasakan rahmat dari ajaran agama yang dijadikan ilmu.

Share This Article