Lembaga Adat di Indonesia

fitrahbukhari
6 Min Read
gambar (http://2.bp.blogspot.com)

16 Desember 2013 merupakan hari bersejarah bagi perkembangan pemerintahan Indonesia konteks Aceh. karena pada saat tanggal tersebut, dilantik sebuah lembaga adat yang memegang penuh kekuasaan adat di Nanggroe aceh Darussalam.

Setelah beberapa kali membuat tensi tinggi antara pusat dan Aceh, akhirnya keinginan Aceh untuk memiliki seorang Wali Nanggroe dapat terkabul. Adalah Malik Mahmud Al-Haytar yang dilantik menjadi Wali Nanggroe aceh IX menggantikan Hasan Tiro yang mangkat tahun 2010. Penunjukan Malik Mahmud memang mengundang kontroversi. Pasalnya, jika pengisian jabatan wali Nanggroe sebelumnya diisi oleh “trah” Tiro, maka kali ini Malik Mahmud, tidak memiliki trah tersebut.

Namun demikian, tulisan ini tidak akan membahas soal legalitas Malik menjadi Wali Nanggroe Aceh, tetapi akan membedah persoalan legitimasi kuasa adat dalam sistem pemerintahan di Indonesia serta kemungkinan penerapannya secara lebih merata.

Lazimnya dalam sistem pemerintahan dikenal istilah trias politica, pemerintahan yang dibangun dengan tiga pilar, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. gagasan ini berkembang di Eropa pada abad pertengahan, dan kemudian menghegemoni hingga sampai ke Indonesia.

Sedari awal sejak memproklamirkan kemerdekaan, Indonesia sudah amat menyadari pentingnya gagasan ini guna menstabilkan kekuasaan, agar tidak terpusat dalam satu tangan. Mungkin para pendiri bangsa kita sudah menyadari warning yang diberikan oleh Lord Acton dalam kalimat saklarnya, Power tends to corrupt, absolutely power corrupt absolutely. Dalam diktum tersebut Acton mengingatkan bahwa kekuasaan pada dasarnya bertendensi untuk disalahgunakan, semakin besar kekuasaan, semakin besar potensi untuk disalahgunakan (abuse of power).

Sedari dulu Indonesia sudah membagi pilar-pilar kekuasaan tersebut ke dalam lembaga legislatif (DPR,MPR), eksekutif (Presiden) juga yudikatif, (MA, MK). Kesemuanya dinisbatkan untuk saling bekerja sama dan sama-sama bekerja dalam melaksanakan fungsi masing-masing serta tidak dibenarkan untuk saling mengintervensi satu sama lain yang familiar dikenal dengan sebutan mekanisme check and balances system.

Walaupun begitu, dalam praktek penyelenggaraannya oleh berbagai negara dimodifikasi sedemikian rupa agar sesuai dengan konstruk masyarakatnya. Sebutlah Iran, yang mengenal lembaga Wilayatul Faqih, yang berdiri di atas parlemen maupun presiden Iran sekalipun.

Jalan panjang legalisasi Wali Nanggroe

Jalan panjang Aceh untuk memiliki Wali Nanggroe amat berliku. Perjuangan ini dimulai dari perjanjian damai yang dilakukan antara kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia yang dikenal dengan MoU Helsinki. Substansi dalam MoU ini memerintahkan agar Aceh nantinya memiliki sebuah lembaga Wali Nanggroe, namun tiada pembahasan lebih lanjut soal bagaimana mekanisme pengisian maupun kedudukannya dalam Pemerintahan Aceh.

titik terang mengenai bagaimana konstruksi kelembagaan adat ini mulai terlihat manakala pembahasan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam UUPA, Wali Nanggroe diatur dalam Pasal 96, yang mengatur bahwa  Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat yang berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. dalam pasal ini juga menegaskan bahwa Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh.

Namun usaha legalisasi Lembaga Wali nanggroe di tingkat parlemen lokal cukup dinamis. Betapa tidak, kurang lebih terdapat tiga rancangan qanun yang diajukan oleh DPRA, awalnya pada tahun 2009, kemudian 2010 dan terakhir 2012.

Namun yang paling menarik perhatian justru ketika DPRA mengusulkan draft raqan 2010 yang menempatkan Lembaga Wali Nanggroe berada di atas gubernur dan parlemen Aceh. namun hal demikian justru malah mendatangkan resistensi dari berbagai kelompok, sehingga memaksan DPRA “melunak” untuk mengkonstruk wali nanggroe dengan lebih “merah-putih”.

Menakar Posisi Wali Nanggroe

Jika dilihat dalam konstruksi yang dibangun dalam Pasal 96 UUPA, terlihat memang tidak ada tendensi berlebih terhadap kehadiran lembaga adat ini. namun dalam proses penyusunannya kemudian, terjadi dialektika yang cukup hangat mengenai posisi wali nanggroe. Pada substansi Qanun Wali Nanggroe, terdapat beberapa pasal yang justru menegaskan bahwa wali nanggroe memiliki kewenangan yang bersinggungan di bidang pemerintahan. singgungan tersebut antara lain mengukuhkan DPRA dan kepala pemerintahan aceh secara adat, mengawal dan memonitor penyelenggaraan pemerintahan aceh.

Walaupun kewenangannya sekilas memiliki singgungan dengan pemerintah yang tidak ditemukan padanannya dalam “jurisprudensi” praktek pemerintahan di Indonesia, hemat penulis, racikan ini patut untuk dipertimbangkan “kloning”-isasinya. Penulis berpandangan bahwa rumusan menempatkan lembaga adat dalam suatu struktur pemerintahan dapat dibenarkan, selama jelas kinerjanya dan tidak mengintervensi pilar pemerintahan lain.

selain itu, seiring dengan perkembangan zaman yang menuntut pada penghilangan sekat batas budaya, maka kelahiran lembaga pemimpin adat amat diperlukan untuk melestarikan nilai adat yang telah lama bersemayam dalam budaya masing-masing.

Karenanya kemudian, dalam sistem pemerintahan aceh pasca qanun 8 tahun 2012 tentang lembaga wali nanggroe, maka aceh memiliki empat pilar dalam pemerintahan (quartet politica). Jika lazimnya pemerintahan lain hanya memiliki tiga pilar sebagaimana dikonstruksikan oleh Montesquieu, dengan eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka Aceh menghadirkan satu pilar lagi yakni securitif. Pilar ini bertugas untuk menjaga adat yang telah hidup bersemayam dalam budaya masyarakat tersebut.

Dengan budaya sebagai “denyut jantung” peradaban Indonesia, maka kehadiran lembaga ini harus dimanfaatkan dengan benar agar dapat berjalan optimal. Di saat globalisasi kian menggurita, adalah penting untuk kehadiran lembaga securitif ini guna menjaga adat istiadat yang semakin lama berada di pinggir peradaban. Semoga kehadiran pilar securitif dengan berbagai macam varian prakteknya di berbagai tempat dan menjadi oase di tengah ke-“kering”-an nilai budaya yang semakin marginal.

Share This Article