AGENDA KEMARITIMAN INDONESIA

fitrahbukhari
7 Min Read
gambar (http://beritatrans.com/)

Ada hal menarik dalam proses kampanye Pilpres 2014 lalu. Salah satu Pasangan calon Presiden mengemukakan pentingnya untuk mengembalikan kejayaan maritim bangsa. Bahkan grand design yang dikemukakan olehnya adalah bahwa Indonesia kelak akan menjadi “poros maritim dunia”.

Sebagai turunan dalam tataran implementatif, sang Capres menawarkan pembuatan “tol laut” yang akan diimplementasikan ketika telah terpilih menjadi Presiden Indonesia. Kini jika tiada aral melintang di sidang Mahkamah Konstitusi, Capres tersebut akan sah sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2014-2019.

Takdir Negara Maritim

Patut diapresiasi mulai tumbuhnya kesadaran pada tingkat elite bangsa mengenai potensi kelautan Negara. Sebagaimana diketahui, Indonesia seakan ditakdirkan menjadi negara kepulauan, corak negara kepulauan tentu berbeda dengan corak negara dataran biasa. Negara kepulauan mengundang konsekuensi, salah satunya ialah dipisahkannya wilayah satu dengan wilayah lain oleh hamparan lautan. Apalagi, dengan luas yang begitu besar, jarak antara Sabang dengan Marauke, Miangas sampai Pulau Rote, menjadikan Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia.

Keberadaannya ada di titik strategis persilangan antar benua dan samudera, ditambah dengan daya tarik alam yang luar biasa. Konon, Negara Indonesia, menjadi satu-satunya negara di dunia yang mengistilahkan negaranya dengan “Tanah-Air”, tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari kedekatan antara masyarakat Indonesia dengan lautan.

Efek Marginalisasi Pembangunan Kelautan

Namun seiring berkembangnya teknologi transportasi darat, kini lautan mulai termarginalkan dari kehidupan anak bangsa. Lautan kini tak lagi dipandang sebagai pemersatu, namun dipandang sebagai pemisah dan halangan. Nenek moyang kita sudah mengajarkan bagaimana cara hidup mesra dengan laut. Bahkan, menurut Yudi latif, awalnya ekspansi globalisasi negara-negara barat ke wilayah jajahan untuk mencari rempah, merupakan hasil dari pembelajaran pelaut Nusantara. (Latif, 2012: 129).

Persoalan kelautan plus apa yang dikandungnya sejak dulu menjadi hal laten untuk diperebutkan. Kita tentu masih ingat bagaimana sengketa yang melibatkan Indonesia dengan Malaysia dalam perebutan Blok Ambalat. Setelah kandas dalam usahanya “mempertahankan” pulau Sipadan dan Ligitan pada sengketa di Mahkamah Internasional, maka perebutan nasib Blok Ambalat menjadi prioritas pertaruhan. Blok Ambalat bukan hanya perairan lepas pantai, melainkan juga tersimpan kandungan minyak yang luas dan melimpah, yang tentu akan menghasilkan keuntungan bagi yang memilikinya.

Awal mula sengketa perebutan Ambalat maupun lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan tentu tidak bisa dilepaskan dari lemahnya inventarisasi Indonesia atas kepulauannya. Sebagai negara kepulauan, tentu kedaulatan Negara wajib dijaga meliputi seluruh dataran dan lautan karena menjadi pertaruhan kedaulatan negeri. Ironis memang melihat lemahnya political will pemerintah dalam persoalan pertahanan di bidang kelautan. Sengketa di wilayah perbatasan, hingga hilangnya jiwa “merah Putih” di batas teritori negeri tentu tidak bisa dilepaskan dari lemahnya political will pemerintah soal perbatasan, khususnya mengenai kelautan.

Mengembalikan Kejayaan Laut

“Alam terkembang menjadi guru”, begitu pepatah klasik mengemukakan. Karenanya kita harus bisa menggali apa yang ada di alam untuk dijadikan pelajaran guna membangun sebuah kebudayaan peradaban yang agung. Dengan potensi maritim yang begitu luas, seharusnya Indonesia dapat kembali ke paradigma zaman “pra-sejarah”. Maksudnya adalah pembangunan kapal-kapal dan teknologi kelautan menjadi prioritas. Syair lagu anak-anak “nenek moyangku seorang pelaut”, tidaklah berhenti menjadi bait kosong tanpa makna, melainkan digali dari keluhuran nenek moyang kita yang memang memiliki teknologi tinggi dalam hal kelautan.

Dengan melakukan revitalisasi paradigma dari pembangunan daratan kepada pembangunan lautan, maka ada beberapa penguatan yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, instansi TNI, sebagai penjaga kedaulatan negara, harus didukung penuh dalam pengadaan alutsista bidang kelautan. Peningkatan jumlah anggaran untuk pembelian alutsista kelautan yang modern mutlak dilakukan.

Kedua, perlindungan seluruh tumpah darah Indonesia, tidak akan pernah selesai tanpa tahu siapa yang harus dilindungi. Oleh karenanya, Departemen Dalam Negeri harus lebih giat dalam melakukan inventarisasi daerah-daerah perbatasan. Inventarisasi bukan hanya potensi daratan, melainkan luas laut serta kandungan yang ada didalamnya. Ketiga, pemerintah harus aktif dalam mengembangkan riset teknologi. Dalam artian teknologi yang dikembangkan haruslah mendukung paradigma “laut sebagai pemersatu”, bukan “laut sebagai jarak”.

Dengan penggunaan paradigma ini, keniscayaan melakukan riset untuk mengembangkan teknologi kelautan, tidak bisa dibantah. Negara haruslah mendukung bahkan menjadi inisiatif dari setiap riset yang mengembangkan potensi kelautan bangsa. Penggunaan teknologi mutakhir di bidang kelautan, mutlak diperlukan untuk menjaga setiap jengkal kedaulatan negeri yang diikat oleh teritori lautan yang luas.

Keempat, pembangunan infrastruktur jangan lagi mereduksi potensi kelautan. Kita tidak bisa bohong membutuhkan pembangunan infrastruktur mentereng untuk mercusuar bangsa. Namun seharusnya tidak mereduksi kekayaan nasional bangsa kita. Pembangunan mega proyek jembatan-jembatan yang menghubungkan satu pulau dengan pulau lain mereduksi peran laut sebagai pemersatu.

Seyogyanya yang dikembangkan ialah teknologi yang mendukung kelautan. Pembangunan teknologi kapal yang besar dan cepat bisa menjadi alternatif untuk menggantikan pembangunan jembatan, yang lebih banyak memakan biaya, hal ini kiranya dapat menekan pengeluaran anggaran secara signifikan.

Dengan penggunaan paradigma “laut sebagai pemersatu”, maka ada beberapa keuntungan yang dapat diambil oleh Indonesia. Pertama, terinventarisirnya seluruh wilayah kepulauan yang dipisahkan oleh laut karena berkembangnya teknologi kelautan.

Kedua, penghematan anggaran dikarenakan berkurangnya pembangunan proyek-proyek mercusuar pembangunan fisik yang memakan biaya banyak. Ketiga, terjaganya kedaulatan negeri, yang selama ini diragukan di bidang lautan. Dengan menguatnya TNI AL, maka penjagaan segenap jengkal bangsa menjadi lebih terjamin,

Keempat, terdatanya seluruh kekayaan laut beserta di bawahnya, hal ini akan mendatangkan keuntungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tentu jika dikelola dengan baik dan cermat. Oleh karenanya, pergeseran paradigma dari pembangunan bidang daratan kepada pembangunan “akrab” dengan laut menjadi sebuah keniscayaan untuk mendukung segenap potensi terpendam bangsa. Selain itu juga sebagai tindakan preventif penjagaan kedaulatan negeri yang selama ini seringkali tercabik.

Share This Article