Eksistensi Negara

fitrahbukhari
19 Min Read
gambar (mnoushad.files.wordpress.com)

Pendahuluan

Sebuah Negara dapat mengalami proses lahir, tumbuh berkembang hingga runtuh. Hal tersebut merupakan sebuah gerak melingkar yang berkelindan serta dihasilkan dari sebuah proses yang melibatkan segenap unsur dalam negara tersebut. Sebagaimana layaknya manusia, negara juga memiliki umur tertentu, yang tidak jarang akan berakhir pada sebuah “kematian” ataupun “kemunculan baru”. Eksistensi dari sebuah negara tersebut tentu berkaitan erat dengan dialektika yang terjadi antara pemimpin, masyarakat, maupun kondisi sosial serta geopolitik yang melingkupinya.

Kita tentu sudah mendengar negara-negara yang pernah mengalami puncak kejayaan, ataupun bertahan dan eksis dalam percaturan internasional. Uni Soviet merupakan sebuah negara yang sempat memberikan warna tersendiri dalam percaturan geopolitik dunia dengan ideologi sosialisme yang dikonstruksikan oleh Stalin dan Lenin. Yugoslavia yang kini berubah menjadi negara Serbia juga pernah eksis sebagai sebuah negara berdaulat.

Kini, saat sekat dan batas-batas geografis dunia mulai kabur oleh ideologi baru-globalisasi-, kita dapat menemukan negara-negara yang hampir berada dalam ujung kisah ceritanya. Tentu kita masih segar mengingat, negara-negara Arab yang sedang mengalami sindrom “Arab Spring”, dimulai dari runtuhnya oligarki politik Ben Ali di Tunisia, Muammar Khadafi di Libya, berlanjut tumbangnya Husni Mubarak di Mesir, hinggga konflik Suriah yang tak berujung. Bahkan kedua negara terakhir kini masih mencari pola baru pasca “berdarah-darah”nya mereka dalam sebuah revolusi dalam negeri. Contoh Arab Spring diatas mengingatkan kita akan pendapat dari Ibn Khaldun bahwa sebuah negara memiliki umur tertentu, sama seperti manusia

Asal Negara menurut Ibn Khaldun

Pemikiran Ibnu Khaldun tentang negara dan pemerintahan diawali dari penggambaran karakteristik dasar masyarakat. Ibn khaldun mengatakan bahwa organisasi kemasyarakatan mutlak diperlukan bagi ummat manusia. Karena Allah Swt. membuat ketentuan bahwa pertumbuhan dan pertahanan hidup manusia haruslah dengan bantuan makanan.

Namun dalam proses mendapatkan makanan, manusia tidak dapat berdiri sendiri, melainkan membutuhkan invisible hand untuk mendapatkan hal tersebut. Dengan bergotong royong, maka kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Oleh karena itu, organisasi kemasyarakatan mutlak diperlukan untuk mempertahankan eksistensi manusia sebagai Khalifah di muka bumi.

Ketika organisasi masyarakat itu telah terbentuk, maka perlu dipilih salah seorang diantara anggota masyarakat untuk diangkat menjadi pemimpin, agar terciptanya kestabilan dalam berorganisasi. Karena sejatinya manusia masih memiliki naluri hewani yang bersifat menyerang antara satu dengan yang lainnya, karenanya kemudian menunjuk pemimpin merupakan sebuah hal yang urgent dilakukan. Pemimpin tersebut haruslah berdaulat, dalam arti harus yang menguasai masyarakat, memiliki kekuatan, wibawa dan tak seorang pun yang berani menyerang lainnya.

Namun ketika sudah memiliki pemimpin, Khaldun menekankan akan pentingnya rasa solidaritas sosial, yang dikenal dengan ‘ashabiyah. Menurut Khaldun, kekuasaan diperlukan untuk memimpin, dan karenanya pemimpin harus mempunyai rasa solidaritas sosial yang kuat guna memperoleh legitimasi dan mempertahankannya sebagai pemimpin kelompok itu.

Khaldun beranggapan kuat tidaknya suatu negara, tergantung dari seberapa besar ‘ashabiyah yang dimiliki masyarakat dalam suatu negara tersebut. Dikarenakan dengan memiliki ‘ashabiyah, memberi perlindungan, memungkinkan pertahanan bersama, sanggup mendesak segala tuntutan yang ada dan bermacam kegiatan kemasyarakatan lain.

Selain ‘ashabiyah, kekuatan agama merupakan faktor penting bagi legitimasi penguasa. Artinya harus ada kombinasi antara ‘ashabiyah dan agama dalam menjalankan pemerintahan. Ketika agama dan ‘ashabiyah dipertentangkan, yang terjadi adalah disintegrasi. Hemat Khaldun, ‘ashabiyah digunakan untuk membangun eksistensi suatu negara, sedangkan agama bertugas untuk penopang kekuasaan negara tersebut.

Konsep Eksistensi Negara Ibn Khaldun

Narasi Khaldun tentang negara kemudian membawanya pada penggambaran jatuh bangunnya kekuasaan yang dibaginya dalam lima fase. Pertama, tahapan kesuksesan, yaitu  penguasa baru berhasil menumpas segala bentuk yang berbau oposan sebelum ia memperoleh kekuasaan. Tahapan ini dijadikan model bagi pengikut setelahnya, salah satunya dikarenakan dalam mengambil keputusan melibatkan orang dekat, maupun bawahannya. Hal ini tidak heran, karena dalam masa ini rasa ‘ashabiyah penguasa masih amat kuat.

Selain itu, generasi yang yang berada dalam tahapan pertama ini dinobatkan sebagai assabiqunal awwalun, yang dijadikan prototipe ideal bagi generasi setelahnya. Menurut Ibn Khaldun, generasi pertama ini masih menggunakan “tradisi” baduy yang gemar berpindah untuk mengembara dan menghasilkan sikap berani serta sikap saling hormat-menghormati. Selain itu dalam periode yang masih kental nuansa badawah-nya ini, Khaldun menggambarkan penguasa masih respek terhadap kemiskinan orang lain dan tidak menyukai hal-hal yang berbau individualistis.

Dalam tahap ini rakyat masih dijadikan sebagai patron dalam bertindak. Golongan-golongan rakyat belum terbentuk, karenanya rakyat dipilih oleh raja untuk menjadi menteri, pengutip pajak guna kesejahteraan negara. Singkatnya, rakyat menjadi rekan dalam persoalan mengurus negara.

Kedua, tahapan ini dimulai dari masuknya pengalaman duniawi dalam lingkungan penguasa. Sifat bersahaja badawah pada periode pertama berganti dengan sikap tirani. Pada tahapan ini penguasa mulai sewenang-wenang dalam memerintah. Raja sudah mulai menunjukkan sifat lalim, monopoli serta menjauhkan rekan seperjuangannya yang lama.

Selain itu penguasa mulai semakin meningkatkan kebutuhan pribadinya sehingga mereka mulai tenggelam dalam kenikmatan dan kemewahan. Selanjutnya Khaldun menjelaskan bahwa guna semakin menjauhkan rakyat serta tim yang dulu ikut merintis negara dengan penguasa, maka penguasa mengambil orang asing untuk keperluan-keperluannya. Lebih parahnya lagi, sikap penguasa justru menjadikan orang-orang asing yang rela mati untuknya itu sebagai menteri, panglima serta pelayan raja.

Pada tahapan ini penguasa mulai tidak melibatkan bawahannya dalam mengambil keputusan, Ia mulai membatasi akses maupun potensi bagi orang yang dianggapnya akan menggulingkan pemerintahannya kelak. Otoritarianisme telah penguasa pilih sebagai tindakan dalam memerintah.

Hal demikian, menurut Ibn Khaldun menjadi entry point bagi keruntuhan negara. Karena perasaan solidaritas-yang bagi khaldun menjadi elan vital bagi perkembangan sebuah negara- sudah mulai terkikis habis. Selain itu juga menumbuhkan perasaan benci dari rekannya kepada raja yang dahulu sama-sama merintis untuk mendirikan negara tersebut.

Mereka sudah mulai menunggu waktu yang tepat untuk sesegera mungkin menyingkirkan raja dari singgasananya. Akhir kata, negara menjadi milik orang lain, bukan pendirinya yang semula serta kekuasaan berpindah ke tangan orang yang bukan pertama mendirikannya.

Ketiga, tahap senang sejahtera. Pada tahapan ini penguasa senang dengan mengumpulkan harta, gemar bermewah-mewahan, senang dengan hal-hal yang bersifat simbolik monumental. Karenanya kemudian penguasa mulai banyak mendatangkan para pengiring yang operasionalisasinya dibebankan kepada pajak negara.

Seiring dengan meningkatnya kebiasaan hidup mewah para penguasa, raja mulai membebani masyarakat dengan membayar pajak yang tinggi dengan tujuan memperbanyak kas negara. Pembebanan yang demikian berjalan secara gradual, artinya setahap demi setahap pajak masyarakat ditingkatkan guna mendukung kebiasaan hidup mewah mereka. Apalagi menurut Khaldun milisi membutuhkan upah yang lebih banyak sedangkan raja butuh uang untuk memenuhi pengeluarannya.

Keempat, bisa dikatakan tahap ini ialah tahapan taqlid. Penguasa hanya mengikuti apa saja yang telah dibuat pendahulunya. Penguasa menggap keluar dari yang telah dilakukan pendahulunya merupakan malapetaka. Raja merasa puas, damai dan tentram dalam pemerintahannya.

Khaldun kemudian mengungkapkan pada tahapan ini tingginya pembebanan pajak pada masyarakat merupakan sebuah tradisi. Bahkan lebih dari itu karena penguasa secara konsisten meningkatkan pembayaran pajak pada masyarakat,  mengakibatkan pendapatan masyarakat menurun dan membuat masyarakat malas bekerja. Kemalasan kerja masyarakat tersebut berdampak juga pada semakin menurunnya pendapatan hasil pajak.

Kelima, tahapan ini merupakan tahapan paling sempurna yang dibuat raja untuk benar-benar menghancurkan kerajaannya. Raja suka boros, hidup foya-foya, melakukan sesuatu hanya dengan hawa nafsunya. Lebih parahnya raja memilih orang-orang yang tidak berkompeten serta tidak tulus dalam membantunya.

Penguasa menutup pintu untuk orang-orang jujur dan kritis yang berkeinginan untuk mengawasi guna mengontrol pemerintahan agar tetap bertahan pada rel yang telah ada selama ini. Akhinya raja meruntuhkan dengan tangannya sendiri kerajaan yang telah dibangun oleh para pendahulunya. Khaldun menggambarkan bahwa pada tahapan ini, negara sudah dalam keadaan yang amat tua dan mengalami penyakit kronis serta tidak mungkin ada obatnya, hingga kehancuran tak dapat dihindari.

Teori Paradigma Thomas S. Kuhn

Tahun 1962, ketika pertama kali Kuhn mengeluarkan gagasannya dalam sebuah buku tipis yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions, Ritzer mengemukakan dalam tataran keilmuan sosiologi nasibnya mengalami status marginal. Hal ini dikarenakan Kuhn berfokus pada ilmu fisika dan minim pembahasan pada ilmu sosial.

Tetapi  tesis Kuhn tersebut memancing kalangan dari ilmu sosial lain untuk menggunakannya sebagai paradigma teori. Ritzer bahkan menambahkan teori Kuhn ini merupakan sejenis metateori sebagai cara memahami teori lebih mendalam. Awalnya Kuhn hanya berkutat pada usaha untuk mendobrak tradisi mainstream di kalangan ilmu, utamanya mengenai perubahan ilmu eksak. Jika sebelum ada teori Kuhn, mayoritas orang beranggapan bahwa kemajuan ilmu terjadi secara kumulatif, tahapannya merupakan warisan dari kemajuan yang telah dicapai sebelumnya.

Kuhn hadir dengan mendobrak hal tersebut yang mengungkapkan bahwa perkembangan ilmu secara kumulatif hanyalah sebuah mitos belaka. Namun demikian Kuhn tidak menafikan sikap pertumbuhan ilmu yang kumulatif, namun juga menambahkan bahwa perubahan besar hal tersebut terjadi dikarenakan sebuah revolusi.

Kuhn melihat bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh paradigma tertentu. Apa yang menjadi masalah dan tema pokok dalam sebuah ilmu dinamakan Kuhn sebagai sebuah paradigma. Klasifikasi lain yang diistilahkan Kuhn dalam teori Paradigmanya adalah Ilmu normal yang diartikannya sebagai periode akumulasi ilmu pengetahuan di mana para ilmuwan berkarya untuk mengembangkan paradigma yang menjadi mainstream pada saat itu.

Karenanya kemudian beberapa kelompok ilmuwan membentuk kubu baru yang mencoba untuk menentang konsep mainstream tersebut. Ilmu normal ternyata memiliki beberapa kelemahan, yang berdampak pada tidak bisanya paradigma mainstream tersebut menjelaskan temuan-temuan tertentu.

Hal inilah yang disebut Kuhn sebagai anomali. Terjadinya anomali kemudian akan berdampak pada timbulnya krisis, yang timbul dari memuncaknya anomali di tengah masyarakat. krisis demikian menurut Kuhn akan menjadi pintu masuk dari revolusi sebuah ilmu. Paradigma dominan akan digantikan oleh paradigma baru dan merebut posisinya di pusat ilmu. Paradigma dominan baru, muncul dan kemudian terjadi anomali, krisis dan revolusi, hal tersebut terjadi dengan terus berputar melingkar prosesnya. Tahapan perubahan dari paradigma satu kepada paradigma lain adalah sebagai berikut:

Sebelum masuk menggunakan Teori Kuhn untuk melihat konsep eksistensi negara Khaldun, ada baiknya Penulis mengkontekstualisasikan paradigma Kuhn dalam pembacaan terhadap revolusi sebuah negara. Dalam tahapan ilmu normal-untuk kepentingan tulisan ini digunakan istilah mainstream-bisa kita artikan sebagai baru berdirinya sebuah negara.

Pendirian ini tentu masyarakat masih dalam euforia akibat meruntuhkan rezim baru. Dalam konteks Indonesia disinilah periode ketika awal proklamasi, karenanya kemudian Bung Karno begitu dihormati. Kehidupan masyarakat dan bernegara masih stabil serta keadaan semuanya berjalan seperti sedia kala.

Anomali merupakan sebuah keadaan dimana Penguasa mulai memindahkan kuasanya di tangannya sendiri. Penguasa mulai tidak mendengarkan nasihat dari orang dekatnya, bahkan kadang cenderung untuk melakukan one man show. Tahap anomali juga menimbulkan benih-benih perpecahan di dalam masyarakat. masyarakat sudah menyimpan api dalam sekam akibat melihat perilaku penguasa yang mulai bertindak diluar batas. Penumpukan kekuasaan ini tentu berdampak buruk, sebagaimana diungkap oleh Lord Acton, bahwa “kekuasaan cenderung korup, semakin absolut kekuasaan, maka semakin absolut juga korupsi yang terjadi”.

Tahapan krisis mulai timbul ketika masyarakat sudah mulai merasa jengah dengan perilaku penguasa yang mulai bertindak sewenang-wenang. Ditambah lagi dengan mulai otoriternya penguasa. Karenanya kemudian masyarakat tidak respek terhadap penguasa dan tinggal menunggu waktu guna menurunkan sang raja. Kejengahan yang bertumpuk-tumpuk tersebut kemudian memaksa masyarakat untuk melakukan revolusi. Kejengahan terhadap perilaku penguasa serta hal-hal lain yang tidak sesuai dengan kepatutan masyarakat membawa penguasa harus rela turun dari singgasananya.

Eksistensi Negara Ibn Khaldun dalam Paradigma Thomas Kuhn

Dengan memperhadapkan secara diametral antara konsep eksistensi negara Ibn Khaldun dengan tahapan paradigma Thomas S. Kuhn, maka kita dapat mengambil simpulan bahwa keduanya memiliki kecenderungan yang sama. Titik pembeda antara keduanya terletak pada item yang dikaji. Jika Ibn Khaldun berangkat dari eksistensi negara secara an sich, maka Kuhn, berangkat dari perkembangan ilmu yang dianggapnya mengalami sebuah revolusi. Namun demikian antara keduanya memiliki pandangan siklikal/siklus. Karena antara keduanya berangkat pada awal dan akhir yang sama.

Jika Khaldun menganggap bahwa negara berangkat dari kebutuhan masyarakat yang membutuhkan perlindungan seorang pemimpin, maka Kuhn dalam revolusi ilmunya menganggap bahwa ilmu dalam tataran tertentu memiliki paradigma mainstream. Tahap pertama Ibn Khaldun dapat kita kontekstualisasikan dalam periode “ilmu normal” Thomas Kuhn. Dasar Penulis menyamakannya dikarenakan keduanya mensyaratkan akan kestabilan dan pemantapan masing-masing kepentingan.

Kuhn, menganggap dalam periode ilmu normal para ilmuwan senantiasa mengembangkan paradigma mainstream dalam tiap kajiannya, sementara Khaldun mengungkapkan bahwa dalam tahapan pertama penguasa dan rakyat senantiasa bersatu padu. Penguasa masih memiliki sifat badawah dan tinggi rasa solidaritas sosialnya. Periode ini baik dalam paradigma Kuhn maupun eksistensi Khaldun keduanya bergerak dari sesuatu yang belum “ada” menjadi sesuatu yang “ada”. Selain itu keduanya juga bersama dalam membangun rintisan masing-masing.

Untuk jenis anomali dalam Tahapan Ibn Khaldun terdapat di dalam tahapan kedua dan ketiga. Hal ini dimulai dari cintanya penguasa akan hal yang bersifat duniawi. Penguasa mulai semena-mena dan mulai menyingkirkan orang-orang dekatnya yang mulai membangun pemerintahan dahulu. Penguasa mulai menumpuk-numpuk kuasa di tangannya. Selain mengumpulkan kuasa di tangannya, penguasa mulai gemar melakukan hal-hal yang simbolik monumental.

Penguasa mulai menyewa tentara guna menjadi pengawal pribadinya guna membatasi diri dari masyarakatnya. Penguasa sudah merasa nyaman dengan berada di menara gading. Sementara itu, masyarakat mulai berang dengan keadaan seperti ini. Pemungutan pajak yang semakin meningkat selama bertahun-tahun membuat masyarakat semakin merana, dan karena tinggal menunggu waktu untuk menggulingkan sang raja. Hal inilah yang disebut anomali, yakni sebuah keadaan yang tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Harapan masyarakat untuk senantiasa dekat dengan sang raja tidak sesuai dengan harapan, karena penguasa mulai membatasi diri.

Tahapan “krisis” Kuhn dalam eksistensi negara Khaldun terdapat pada tahap taqlid. Penguasa cenderung peragu, tidak bisa keluar dari pakem yang telah biasa dilakukan pendahulunya. Penguasa merasa berdosa besar jika melakukan terobosan-terobosan baru dalam proses pensejahteraan masyarakat. karena keadaan yang demikian, masyarakat gerah, dikarenakan dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah harusnya memiliki tindakan improvisasi. Karenanya dalam literatur Administrasi Negara dikenal istilah diskresi yang berasal dari asas leizis freire. Ketiadaan inisiatif serta masyarakat menganggap negara dalam keadaan auto-pilot inilah maka benih-benih untuk melakukan revolusi mulai bersemayam dan siap untuk digelorakan.

Setelah terjadi krisis dalam negara tersebut, maka penguasa sudah kehilangan kendali atas pemerintahannya. Dalam Muqaddimah Ibn Khaldun juga pernah mengemukakan, bahwa pernah ada sebuah kerajaan di Timur Tengah yang sebenarnya sudah tidak memiliki kedaulatan sendiri. Hal ini dikarenakan the real leader adalah orang sekitarnya yang diberikan kewenangan di lapangan.

Bahkan dalam titik tertentu, penguasa hanyalah sekedar untuk simbolisasi semata. Tahapan kelima dari Khaldun inilah yang menjadi titik balik dari sebuah negara. Negara yang dulu awalnya dirintis dengan susah payah oleh para founding people, kini harus tersungkur dalam kubangan peradaban karena sikap tamak dari para penguasa-penguasanya.

Adapun jika kita membaca Konsep Eksistensi Negara Ibn Khaldun dalam paradigma Thomas Kuhn melalui bentuk tabel, adalah sebagai berikut:

“Paradigma” Thomas S. Kuhn              Eksistensi Negara Ibn Khaldun

Ilmu Normal/Mainstream

 

 

Tahap I: Kesuksesan.

-Tingginya ‘ashabiyah

-Menjunjung tinggi sifat badawah

-Penguasa dijadikan panutan oleh generasi dibawahnya

Anomali Tahap II: Cinta Dunia

-Dari badawah ke Tiran

-Penguasa menyingkirkan rekan yang bersama-sama membangun negara

Tahap III: Sejahtera

-Simbolik monumental

-Penguasa hidup mewah

-Pajak meningkat

-Rakyat mulai gerah

Krisis Tahap IV: Taqlid

-Penguasa menganggap dosa melakukan hal baru

-Negara seakan auto-pilot

– Kristalisasi kemarahan masyarakat

Revolusi Tahap V: Runtuh

Penguasa hilang kendali

-Keruntuhan negara akibat ketamakan penguasa

-Tercipta Penguasa baru.

 

Penutup

Konsep eksistensi negara Ibn Khaldun terdiri dari lima tahap. Yakni kesuksesan, cinta dunia, sejahtera, taqlid dan runtuh. Sedangkan tahapan paradigma yang dikemukakan Thomas S. Kuhn antara lain Ilmu Normal/mainstream, anomali, krisis, revolusi. Adapun jika membaca eksistensi negara Ibn Khaldun dari kacamata Thomas S. Kuhn adalah pada tahapan Ilmu Normal/mainstream layak ditempatkan periode kesuksesan negara Ibn Khaldun. Selanjutnya pada periode anomali adalah tahapan cinta dunia dan sejahtera di konsep eksistensi negara Ibn Khaldun. tahapan krisis Kuhn terdapat identik dengan tahapan taqlid pada Ibn Khaldun. selanjutnya tahapan terakhir dari Thomas Kuhn yakni revolusi, identik dengan tahapan keruntuhan negara Ibn Khaldun.

Tentunya konsep Khaldun dan Kuhn merupakan oase dari perkembangan ilmu di bidang masing-masing. Keduanya berangkat dengan mencoba menentang arus mainstream dalam bidang ilmunya. Karenanya kemudian konsep ini dapat menjadi emergency exit jika terdapat kejumudan dalam perkembangan keilmuan. Tentunya kedua konsep ini akan lebih baik jika diteliti secara lebih serius serta melalui langkah-langkah akademik yang lebih ketat.

Share This Article