Canon

fitrahbukhari
4 Min Read
gambar (lh4.ggpht.com)

Entah racun apa yang dikandung dalam alunan lagu canon tersebut, hingga membuatku selama ini masih rajin mendengarkannya setiap hari. Kebiasaanku, jika sedang suka dengan sebuah lagu, pasti akan diputar secara terus menerus sampai beberapa hari kemudian datang rasa jenuh dan bosan.

Namun hal tersebut tidak berlaku ketika mendengar lagu canon karya Johann Pachelbel ini. selain alunannya yang tergolong “magis”, mendengarnya aku merasa dibawa gelombang kesana kemari. Dengarkan saja alunannya, ibarat gelombang yang menerjang, dari pelan, setengah pelan hingga di pertengahan kita digulung dalam alunannya hingga kesulitan bernafas.

Namun bagiku mendengarkan canon memberikan semangat baru, jiwa menjadi segar dan ingin segera beraktivitas. Di dalam alunan canon, ada kekuatan, kelembutan, semangat dan juga harapan.

Kira-kira sudah lebih dari tiga bulan lamanya aku berkenalan dengan lagu magis ini, dan selama itu pula alunan canon terngiang di sudut kamar ku, kamar mandi, hingga perpus di tempat aku belajar (tentu dengan menggunakan hadset).

Perkenalan dengan canon ini diawali dari proses yang cukup unik, karena aku mengetahuinya dari buku. ah, lagi-lagi buku yang mengantarkanku pada pengetahuan baru. Ya, buku anak-anak revolusi yang memperkenalkan aku pada canon, dari sanalah aku mulai rajin mendengarkannya, bahkan menjadikan canon sebagai nada deringku.

Dari canon aku berkenalan dengan musik jazz. Aha, entah ku rasa seperti ada hierarki di antara musik-musik di dunia ini. setelah mendengarkan klasik, dan kita suka dengannya, kita akan suka pada musik jazz. Kini saingan canon di sudut kamarku adalah musik-musik instrumen jazz. Utamanya dari pemain saxophone, Kenny G. Selanjutnya entah apa lagi yang akan canon bawa untukku.

Jadi karena penasarannya dengan lagu ini, aku mulai mencari tahu bagaimana sebenarnya sejarah lagu ini. selama ini yang ku tahu hanya nama komposernya saja, Johann Christopher Pachelbel, yang ternyata seorang musikus agamawan. Dalam artian ia merupakan seorang religius di zamannya. Pachelbel hidup di zaman barok, zaman ini ditandai dengan kuatnya pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat eropa.

Pada zaman ini di belahan eropa, kekuasaan agama telah menghegemini berbagai sendi kehidupan, dari mulai ekonomi, sosial politik, bahkan kehidupan bernegara. Kekuatan kaum agamawan menjadi amat hegemonik, tidak boleh ada yang menentang pendapat agama (baca: gereja). Dengan pemikiran yang demikian, maka pemikiran, termasuk juga seni berlomba lomba untuk dekat dengan gereja. Seniman-seniman terbaik di zaman tersebut seakan keranjingan untuk mempersembahkan karya seni yang memiliki estetika yang tinggi, yang tentunya diukur dengan sudut pandang gereja.

Dapat dikatakan, Musikus yang mengawali periode ini adalah seorang wanita, Hidegard von Bingen. Hilde menganggap untuk berjumpa dengan Tuhan, haruslah mempersembahkan karya yang agung. Karenanya pendapat Hilde ini seakan menjalar pada zaman tersebut. Hingga akhirnya setiap orang berlomba-lomba menciptakan karya seni yang indah, sebagai perwujudan cinta kasihnya pada Tuhan yang maha Kuasa.

Tidak terkecuali Johann Pachelbel, dengarkanlah lagu canon yang agung dan mistis itu. Maka bisa kau rasakan ada Tuhan yang datang didekatmu, memeluk dan masuk ke dalam sanubarimu. Ya, bukankah Tuhan itu indah dan mencintai keindahan?

Yogyakarta, 12-3-2015.

Share This Article