Review Critical Eleven: Film Aman Adaptasi Novel Best Seller

fitrahbukhari
7 Min Read

Cerita tentang adaptasi dari sebuah buku laris, memang menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi sutradara kala mengangkatnya ke layar lebar. Dalam buku, pembaca bebas bervisualisasi tentang adegan yang ada di buku, sedangkan dalam film, sutradara-lah yang memvisualisasikan adegan dalam buku tersebut di dalam kamera. Karenanya, mengangkat sebuah kisah yang dicintai banyak orang sudah menjadi pekerjaan rumah sendiri, belum lagi merajut ceritanya dalam tangkapan kamera.

Novel Critical Eleven karya Ika Natasha ini adalah salah satu kisah yang dicintai oleh banyak orang, dan kini diangkat menjadi film dalam judul yang sama. Jangkar cerita masih tentang sepasang kekasih yang saling mencinta, Ale dan Anya. Cinta mereka bertemu di sebuah pesawat, yang dijadikan premis oleh Ika adalah “Critical Eleven”.

Maksudnya adalah dalam dunia penerbangan dikenal dengan istilah critical eleven, yakni 11 menit kritis ketika berada di dalam pesawat, yakni 3 menit setelah lepas landas dan 8 menit sebelum mendarat. Dalam menit-menit kritis itulah seluruh awak pesawat wajib berkonsentrasi tinggi mengingat seringnya terjadi kecelakaan di dunia penerbangan kebanyakan terjadi di menit-menit tersebut. Ika kemudian berangkat dari premis itu, menit-menit kritis di awal penerbangan, yang kita tak bisa memiliih dengan siapa kita kemudian akan duduk bersebelahan. Apakah di 3 menit awal kita akan sekadar menyapa dengan teman sebelah, atau malah menjadi jatuh cinta, benar-benar menit-menit kritis.

Di awal cerita dalam film digambarkan Ale dan Anya bertemu dalam pesawat singapore Airlines penerbangan jakarta ke singapura. Mereka duduk bersebelahan, dan mendapati pembicaraan yang menarik, sayangnya, diskusi-diskusi mereka hingga akhirnya saling menyukai tak digambarkan secara utuh, Ale dan Anya pun terkesan hanya dipersatukan  karena sebuah dinosaurus kecil yang menjadi pegangan anya setiap berada dalam pesawat untuk mengatasi ketegangannya.

Sayang sekali, dialektika cerdas pria dan wanita “istimewa” diabaikan begitu saja oleh sutradara. Cerita berlanjut langsung tentang keduanya yang sudah resmi berpacaran, mengenalkan ke orangtua Ale dan akhirnya Menikah hingga memutuskan untuk pindah ke New York. Kehidupan di New York awalnya berjalan mulus, Ale yang bertugas di Meksiko, Anya yang senantiasa menjaga apartemen mereka di Manhattan.

Setiap pasangan yang menikah pasti memimpikan memiliki anak, dan pada akhirnya Anya hamil, dan Ale begitu menjaganya. Kehamilan Anya berujung pada keinginan Ale untuk pindah ke Indonesia karena takut jika Anya tinggal sendiri di New York, tak ada yang menemani jika terjadi apa-apa. Ale memutuskan pindah kerja agar dapat pindah ke Jakarta, tempat orangtuanya berada. Berada di Jakarta, Anya memutuskan untuk bekerja lagi, dan merupakan titik balik dari hubungan mereka. Anya kembali bekerja di kantor lamanya, mendapatkan posisi yang sama hingga akhirnya rutinitas tersebut harus dibayar mahal, Anya kehilangan buah hatinya yang bahkan tak sempat mendengarkan tangisan lantangnya, ia keguguran.

Kehilangan buah hati pertama yang diidam-idamkan oleh pasangan membuat mereka terpukul. Dalam film tersebut beberapa kali Anya terlihat tidur di kamar anaknya yang telah dipersiapkan. Hubungan mereka pun menjadi renggang, hingga sepenggal kalimat dari Ale di meja makan membuat semuanya menjadi berubah. Ale menyalahkan Anya yang terlalu sibuk hingga keguguran. Keguguran bagi setiap wanita pasti merupakan hal yang amat menyedihkan, namun lebih menyedihkan adalah keguguran di dalam rentang waktu tinggal menunggu hari.

Disalahkan dalam sebuah malapetaka merupakan hal yang dibenci setiap orang, begitu juga Anya, hal ini kemudian menjadi konflik berkepanjangan antar mereka. Hubungan mereka semakin rumit, pekerjaan terbengkalai diperparah dengan sifat gengsi satu dengan yang lain, tak ada yang memulai untuk mengakhiri semuanya. Selalu ada kemudahan di tengah kesulitan, dan kemudahan itu didapatkan dari usaha kedua orangtua Ale yang kembali menyatukan mereka, menasehati bahwa mereka bisa melalui hal tersebut, yang ternyata juga terjadi pada orangtua Ale.

Saya melihat sutradara film ini terlalu bermain aman mengikuti alur cerita yang ada di novel, hal ini tidak salah mengingat bagi Ika, novel ini merupakan anak kandung yang begitu diinginkan kelahirannya. Selain bermain aman, cerita dalam film ini juga terkesan terpenggal-penggal, tak ada kaitan satu cerita dengan cerita lain. Bermain aman ini membuat awal-awal ceritanya terasa sangat menjemukan dan datar, tak ada konflik, mulus dan terkadang melompat-lompat.

Cara Ale melamar Anya di dalam mobil yang seharusnya berada di depan, ditaruh di bagian belakang merupakan langkah keliru untuk membangun cerita. Jika alur ini ditaruh di depan, mungkin penonton-yang tak membaca novelnya bisa sedikit mengerti proses hubungannya.

Akting Reza Rahadian, tak perlu diragukan, ia bisa menjadi siapapun, emosional, air mata, kemarahan mampu dihadirkan secara natural. Namun penampilan Adinia Wirasti mengganggu performa apik Reza, sulit bagi saya melihat Adinia menagis secara alami, kesedihan yang harusnya dalam, tapi menghadirkan air mata sedikit, dan kesedihan sedikit menghadirkan banjir air mata (ketika adegan temannya bercerita sedang mempersiapkan bayi, dibanding ketika tidur di kamar anaknya).

Beberapa plot yang terkesan mengganggu adalah kuburan Aidan yang ketika dikuburkan berada di unit Islam, namun ketika ziarah, berada di sekeliling pemakaman dengan tanda salib di sekitarnya. Selain juga batu nisan yang ketika di-zoom berwarna hitam namun ketika dari jauh berwarna putih, mungkin pencahayaannya yang berlebihan.

Barangkali tidak berlebihan jika seandainya menjadikan Raisa berperan sebagai renata, anak magang yang berada di bawah asuhan doni, sahabat Anya yang diperankan oleh Hamish daud. Hal tersebut pasti akan menjadi “gerr” tersendiri di akhir cerita.

Tapi secara keseluruhan film Critical eleven layak diapresiasi sebagai sebuah karya adaptasi novel best seller. Juga wajib ditonton bagi mereka yang ingin mengetahui bagaimana cara mengatasi konflik dalam rumah tangga. Karena cara mengatasi konflik sendiri, sesungguhnya adalah cara menghadapi hidup.

Share This Article