Baca

fitrahbukhari
9 Min Read
gambar (http://southasiainstitute.harvard.edu/)

Bacalah dengan menyebut Nama Tuhamnu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah  yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Begitulah firman Tuhan yang diyakini Pemuda 40 tahun ini langsung menghujam dalam jantungnya. Ia tak pernah merasakan kegetiran yang seperti dirasakan ketika menerima suara ini. ia bahkan ragu apakah itu suara benar berasal dari luar, atau hanyalah berasal dari dalam dirinya. jika dari luar, siapa yang berbicara? Ia hanya merasakan kata-kata itu seakan dipahat seketika dalam hatinya, tanpa ia tahu berasal dari mana.

Ia bingung harus melakukan apa. Ia bahkan berfikir bahwa ia hanya telah sampai pada titik kelelahan setelah berhari-hari bermenung diri dalam Gua di bukit itu. Apa yang harus ia lakukan? Setelah semilir angin malam turut menambah suasana menjadi mencekam. Kegelapan malam, ditambah tandusnya gurun pasir di sekeliling, juga bebatuan yang menjadi dinding guanya seakan tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan penuh heran yang dilontarkan Pemuda yang belakangan dikenal dengan nama Muhammmad.

Baca, apa yang bisa dibacanya? Bukankah peradaban Arab hanyalah peradaban kelas pinggiran yang jarang membiasakan tulisan? Bahasa arab bukan bahasa visual, ia cenderung lebih kepada audio. Karenanya, syair-syair, gurindam beserta pantun amat familiar di tengah mereka. Sementara soal tulisan, siapa pula yang bisa membaca pada zaman itu, kecuali beberapa orang, dan malangnya, Muhammad tak masuk pengecualian itu.

Lantas kenapa pula suara yang dihujam itu berisi perintah membaca pada orang yang tak bisa baca? Apa yang bisa ku baca? Jangan-jangan ia berfikir apa pula baca? Apa pula kalam? Semuanya masih menjadi misteri. Setelah mendapatkan hujaman kata itu, ia hanyalah akhir dari sebuah awal. Malam berganti, ternyata kata itu rasanya sudah menjadi monumen dalam hatinya. Tapi suara apa yang kemarin itu? Ia bahkan tak berani berspekulasi macam-macam.

Tidak ada orang di dunia ini yang bisa memahaminya kecuali istrinya, Khadijah, janda kaya yang dinikahinya dalam usia 40 tahun dengan mahar tidak lebih dari 100 unta betina hamil. Ia bercerita pada khadijah tentang apa yang dialaminya ketika di gua itu, khadijah hanya menenangkan hatinya, tak lebih. Mungkin karena tidak ingin membebani hatinya pada kata-kata yang justru semakin membuat fikirannya kacau. Namun keesokan harinya ia bercerita pada saudaranya, waraqah, seorang ahli kitab. Dari waraqah-lah tabir itu kemudian tersingkap perlahan. “jika memang benar demikian, ku fikir kau benar seorang nabi/utusan”. Ia tak bisa berkata apapun, nabi? Mengapa harus aku? Siapa pula aku? Lantas apa yang dapat aku lakukan setelah ini?

Begitulah gambaran sekilas yang terjadi ketika perintah baca dihujamkan dalam dada seorang anak manusia yang oleh ummatnya tidak dimanusiakan. Ya, cerita mengenai Muhammad seakan telah dimodifikasi sedemikian rupa untuk memaksakan kehendak pencerita bahwa ia seorang yang sudah dipersiapkan benar menjadi seorang utusan. Padahal, bukankah berulang kali dalam qur’an ditegaskan bahwa ia hanyalah manusia biasa. Ana basyarum mitslukum, aku sama seperti kalian?

Pengkultusan Muhammad ternyata justru jauh lebih menidakmanusiakan-nya. Ia seperti manusia yang diturunkan dari langit untuk menjadi pembawa risalah Ilahi guna disebarkan ke bumi. semakin tidak “manusiawi” cerita tentangnya, semakin baik pula didengar, dan semakin diterima pula oleh “akal”. Sedangkan, cerita mengenai sisi humanitas Muhammad seperti patah hatinya ia pada anak Abu Thalib hingga membawanya “frustasi” sampai harus menikahi janda kaya, seakan tidak boleh diketahui publik. “kekejaman”-nya yang membantai seluruh puak Qainuqa yang berkhianat ketika perang khandak tak pernah dijadikan rujukan. Bahkan hingga motif utama mengapa ia memilih keluar menyerang quraisy ketika perang uhud karena takut kehilangan pengaruh atas Madinah karena pengaruh Ibnu Ubay, seorang pemimpin puak Yatsrib seakan tak boleh diketahui. Termasuk bergulatnya Ia dengan Ibnu Ubay juga haram diketahui luas. Sebab itu akan merusak “citra” malaikat yang telah ditempelkan pada Muhammad dengan bersusah payah.

Kebohongan tidak akan bisa bertahan tanpa ditutupi oleh kebohongan lain. begitulah kiranya gambaran yang dibangun untuk para penulis awal biografi Muhammad. Jadilah ia manusia setengah dewa yang tak manusiawi, ia malaikat, bahkan cerita tentangnya di pamungkaskan oleh turunnya malaikat untuk membelah dadanya sewaktu kecil guna mengeluarkan bagian hati yang hitam dari dirinya. ini merupakan pungkasan bahwa Muhammad manusia setengah dewa.

Padahal jika kita mau jujur, tanpa pun membawa cerita-cerita surealis seperti itu, Muhammad tetap saja istimewa. Ku rasa Michael Hart tak pernah mendengarkan cerita ia dibelah dadanya waktu kecil, namun justru menempatkan Muhammad sebagai manusia nomor satu yang paling berpengaruh dalam sejarah. Muhammad, manusia paripurna, besar di lingkungan baduy, karena ikut ibu susuannya, Aminah. Disana ia belajar mengelola unta, dan hal tersebut bermanfaat ketika ia besar nantinya. Tidak ada orang yang paling ahli dalam menjinakkan hewan gurun itu kecuali Muhammad.

Ia tau kapan unta tersebut haus, lapar, atau tidak mau diajak jalan. Besar di suku baduy, hidup di alam lepas, kemudian ia harus sadar, bahwa bukan disana tempatnya. Mekkah, pusat perdagangan, ekonomi, simbol kekayaan mentereng menjulang tinggi itulah tempatnya. Kota yang seperti tungku panas karena dikelilingi bukit batu di sekitarnya, menambah nikmat cahaya mentari yang menghujam ke buminya setelah dipantulkan melalui dinding-dinding batu tersebut. Awalnya tidak mudah baginya untuk masuk dan bersosialisasi dengan penduduk Mekkah yang patriarkal. Menganggap lelaki sebagai prioritas pandangan derajat. Malang benar nasibnya, ia tak lagi memiliki ayah. Tidak usah ditebak lagi bagaimana pandangan orang pada anak yatim yang hidup di kota Mekkah, bukan hanya setengah mata mereka memandang, mungkin juga ia dianggap tidak ada. Namun dengan begitu nalurinya ternyata telah terasah.

Untuk menjadikan dirinya di saat ia tak dianggap. Ia memang bagian dari puak terbesar di Mekkah, bani hasyim, sebagaimana kakeknya menjadi pemimpinnya. Ia bagian mereka, tapi tidak menjadi bagian dari mereka. Hal inilah yang kemudian berpengaruh pada caranya bersikap. Peletakan hajar al aswad, mengelola yatsrib yang sepanjang sejarah diperebutkan bani khazraj dan auz. Darimana ia dapatkan ilmu tersebut kecuali dibentuk sedari kecil. Ia selalu berada di tengah, menjadi penengah kelompok yang bertikai dan mendamaikannya kemudian merangkul bersama.

Ini juga yang dilakukannya ketika telah resmi menjadi pemimpin kekuasaan Islam. Jika ditilik secara objektif berdasarkan data sejarah, peradaban arab tidak masuk dalam peta kuasa dunia. Karena saat itu disekitarnya ada dua kerajaan besar yang saling bertikai. Persia berhadapan dengan byzantin dengan konstantinopel sebagai pusatnya. Ketika Muhammad berhasil menaklukkan mekkah, secara geopolitik tidak akan ada artinya saat itu. Karena saat yang bersamaan, justru Heraclius, kaisar dari byzantin berhasil memindahkan “salib abadi” ke rumah asalnya, Yerussalem.

Dari sudut geopolitik, fath al mekkah tidak akan ada artinya dibanding apa yang dilakukan heraclius tersebut. Namun berkat kesabaran Muhammad, didikan yang matang pada para assabiqunal awwalun, ia berhasil menyatukan dua kekuatan besar tersebut. Bukan hanya bersatu fisik, namun bersatu dalam kalimat tauhid, byzantin dan persia dipersatukan oleh kader-kader terbaik Muhammad. Bahkan di abad ke-7 klan-klan Muhammad berhasil menembus selat giblartar untuk membuka pintu eropa, mencerahkannya, mengeluarkannya dari kegelapan. Tak bisa dibantah, Muhammad memang seorang “pembaca” sejati. Ia mampu mengambil pelajaran dirinya sedari kecil yang termasuk bagian tapi tidak menjadi bagian dari peradaban jahiliyah.

Keyakinannya akan dirinya sebagai utusan Tuhan tidak lantas diungkapkannya dengan membabi buta. Ia melihat keadaan, dan sekali lagi, memBACA situasi dan kondisi masyarakat untuk kemudian bisa menyampaikan risalah Ilahi yang diyakininya.

(disarikan dari buku “Muslim Pertama” Lesley Hazleton)

Share This Article