Kawan…

fitrahbukhari
7 Min Read
Ilustrasi: dakwatuna.com

Kawan, aku pernah bernaung dalam lindungan atapmu. Aku bersama teman-temanku pernah belajar bersama tentangmu, bercerita apapun tentangmu, dari mulai membedah AD/RT hingga membumikan “jiwa” dalam AD/ART ke dalam program nyata.

Kawan, kini memasuki usiamu yang ke-51 tahun banyak orang yang gelisah tentang gerakmu yang tak menentu. Mereka yang dekat dengan “istana”, di ibukota nun jauh disana gemar menyuarakan persiapanmu dalam menghadapi MEA.

Mereka tak memikirkan bagaimana teman-temanku di daerah tersuruk nun jauh di mata, yang bahkan untuk membaca buku berkualitas saja mereka sedikit aksesnya.

Kawan, ketimpangan yang selama ini terjadi antara “kalian” yang dekat dan “kalian” yang jauh, amat sangat kentara. Pembangunan yang sentralistik ternyata masih menjadi aksi nyata walau negara sudah mentapkan otonomi daerah. hal ini juga berimbas pada “asimetris”-nya tingkat pengetahuan antar kader kita. Menanggapi hal tersebut, aku teringat pada tesis Levinas yang menggambarkan hal demikian, bahwa belum layak dikatakan keadilan, jika antara yang dekat dan yang jauh masih terdapat perbedaan.

Ya, antara aku dan kamu saat ini memiliki jarak yang menganga, daerahku, gemar berpolitik, daerahmu, gemar berdiskusi, daerah dia gemar masuk keluar kampung melakukan advokasi masyarakat miskin.

Kawan, tak sengaja aku tadi pagi melihat pembicaraan dari petinggimu tentang proses suksesi di daerahku. Aku melihat perdebatan tentangmu masih seputar soal kulit-kulitnya saja. Entah mereka mungkin sudah lelah berdiskusi di warung kopi soal bagaimana meningkatkan kualitas intelektual teman-temannya, meningkatkan daya kritis pada yang lain.

Kawan, kadang aku sesak nafas melihat gerak petinggimu yang begitu “gersang” dalam nalar intelektual. Perdebatan yang dihadirkan dalam ruang publik yang mereka ciptakan hanya menampilkan nir-nalar berfikir, yang aku tangkap justru malah pesan-pesan politik praktis an sich. Aku sadar dan mafhum, semafhum-mafhumnya tensi daerahku merupakan tensi politik praktis.

Namun kawan, kurasa mereka tak pernah menyadari bahwa mereka masih dalam taraf ber-“politik” dalam lembaga mahasiswa. Dalam pandanganku, gerak mereka cenderung mengarah pada berpolitik dalam partai politik, yang sudah sewajarnya begitu, seperti yang mereka lakukan sekarang ini.

Kawan, aku punya cerita tentang teman baruku, ia punya konsep seputar manusia politik, yang dibedakannya dengan politisi. Jika politisi hanyalah sekumpulan manusia yang kerjanya hanya memikirkan soal kuasa dengan nir-pengetahuan. Bagi politisi, jarak pandangnya hanyalah jarak pandang rabun ayam yang ada di depan matanya, ia tak akan bisa melihat apa yang ada di balik pulau sana. Logikanya juga pendek, hanya menyangkut perut, bawah perut dan juga lutut.

Namun kawan, manusia politik haruslah memiliki empat hal. Pertama, manusia politik haruslah mencintai ide-ide, dengan ide ini ia mampu memiliki visi dunia. Dari mana manusia politik mendapatkan idenya? Tentu dengan banyak membaca. Kawan, ide yang kumaksud adalah ia punya pengetahuan, cinta padanya, dan bergerak berdasarkan pengetahuan yang telah diperasnya dalam ide tersebut.

Kedua, empati pada rakyat. apakah kita masih sering memikirkan nasib rakyat dan berempati padanya? Seberapa banyak program kita yang menyentuh langsung pada rakyat miskin, kawan? Atau jangan-jangan, kita hanya gemar melakukan kegiatan-kegiatan seremonial dalam hotel-hotel mewah atau sekadar melakukan rutinitas semu tanpa makna lain? seberapa banyak diantara komisariat, cabang, daerah memiliki kampung atau desa binaan?

Atau, sebagai mahasiswa yang lazimnya bersenjatakan pena, dan itu telah kau jadikan lambangmu, apakah pernah pimpinan atau kader yang masih aktif, opininya dapat diterima di media massa membela rakyat? Tentunya hal ini masih menjadi tanda tanya besar soal komitmen kita pada rakyat yang terpinggirkan.

Ketiga, manusia politik harus gemar berorganisasi. Nah, kawan, kau adalah wadah tempat (calon) manusia-manusia politik bisa mengejawantahkan dirinya. namun, apakah berorganisasi sekedar berorganisasi, mengadakan kegiatan, merebut tampuk kekuasaan, lantas setelahnya kita hanya seperti berada dalam ruang kosong yang tak tahu mau kita isi dengan perabotan apa.

Bukan kawan, bukan seperti itu yang dimaksud, hakikat organisasi adalah kita belajar bersama, bergerak bersama, dan berbuat bersama. Belajar tentang apa itu kapitalisme, sosialisme, mengapa ideologi mainstream saat ini masih berkutat pada kapital dan kapital? Mengapa negara yang dicintai ini masih saja terjerembab dalam kubangan peradaban. Organisasi juga dapat menjadi tempat belajar mengapa eropa bisa bangkit dari zaman kegelapan, dengan alat apa eropa bisa bangkit kembali? Dan mengapa setelah eropa bangkit, kini Islam (negara-negara berideologi Islam) justru malah masuk dalam lumpur peradaban. Bukankah dulu Islam sempat mahsyur dengan tokoh-tokohnya yang terkenal seperti Ibn Khaldun, Ibn Sina, Ibn Rusyd. Kemana mereka semua? Apakah tak berjejak lagi pengetahuannya pada kita?

Keempat, dan ini sebenarnya yang paling akhir, kawan. Yakni memiliki Hasrat kuasa. Kita tentu punya semua akan hal ini, bahkan hal inilah yang kemudian kita pertaruhkan dalam setiap suksesi. Baik itu sebagai kader, bahkan sebagai alumni untuk sekedar mendapatkan “kaki” dalam struktural. Namun yang sering kita lupa bahwa sebelum masuk pada hal ini, kita haruslah memenuhi tiga hal yang diatas. Agar setelah hasrat kuasa kita telah terpenuhi, kita mengetahui apa yang harus dilakukan. Apakah hanya berfoto dengan pejabat daerah, lantas upload di media sosial. Terlalu murah organisasi ini jika hanya diperlakukan seperti itu.

Namun, tenanglah kawan, tulisanku ini bukan maksud hati untuk berkampanye menuju suksesi di daerahku pada bulan mei nanti. Aku masih harus berada di rantau sampai aku merasa sudah cukup untuk meminum air pengetahuan di pulau jawa ini. anggap saja ini sekedar celoteh dari orang yang dulu pernah berada di bawah naunganmu selama kurang lebih 4 tahun. Kawan, apapun yang orang katakan tentangmu saat ini, percayalah, cintaku padamu, masih seperti yang dulu. Bahkan di hadapanmu, aku tak tahu dan tak bisa berkata apa itu cinta. Karena kata “cinta” sudah lebur ketika berhadapan denganmu…

Share This Article