Keajaiban Buku

fitrahbukhari
10 Min Read
The public law library at Santa Barbara City Hall in California

Budiman sudjatmiko, awalnya aku tak begitu familiar dengan nama satu ini. aku mengetahuinya pertama kali ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Saat itu ada beberapa teman sekelasku yang aktif dalam organisasi Serikat Mahasiswa Indonesia, bisa dikatakan, organisasi ini berhaluan “kiri” dalam gerakannya. Mereka kemudian mengungkapkan kekesalannya atas sikap “tenang” organisasi mahasiswa “kanan” yang cenderung kompromistis dalam kehidupan kampus. Kebetulan Aku saat itu bergabung dengan organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang cenderung “kanan” dalam gerakannya.

Singkat cerita, Ronald, nama temanku mengungkapkan bahwa mahasiswa tidak boleh melakukan kompromi ataupun menerima dana dari pihak rektorat untuk operasional kegiatan mereka, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan gerakan mahasiswa kanan ataupun tengah. Hal demikian dapat mematikan nalar kritis mahasiswa tersebut, demikian kata ronald. Aku memang seakan dirasuki energi baru ketika berdiskusi dengan temanku dari gerakan-gerakan kiri tersebut.

Tibalah dia mengungkapkan kekesalannya pada seorang tokoh yang aku sebenarnya tidak begitu familiar dengan namanya, setidaknya sebelum dia mengungkapkannya. “lihatlah Budiman sudjatmiko itu, semenjak bergabung dengan PDI Perjuangan, ia kini seperti mati di telan bumi, suara-suaranya yang dulu lantang menghiasi jalanan saat orde baru, kini seperti terkena peredam suara dalam partainya. Budiman merupakan contoh buruk dari aktivis, akibat toleran terhadap sikap kompromistis yang sebenarnya menjadi musuh gerakan mahasiswa progresif”. Begitulah temanku berkata.

Sejak saat itu aku tidak juga mencari tahu apakah pendapat temanku tentang Budiman adalah benar atau hanya sekedar letupan emosi jiwa sesaat saja. Tapi sedari dulu aku berpandangan, bahwa setiap manusia pasti memiliki sisi gelap dalam hidupnya, jika kita memandang dari sudut pandang kita, orang di luar dirinya. Bagi pelaku, hal tersebut tidaklah gelap, karena menurutku setiap manusia berdaulat atas dirinya sendiri, tiada yang boleh mengintervensi kedaulatan manusia. Kecuali, jika kekuatan sang Maha Transendental sudah turut campur, tentu setiap manusia, siapapun dia akan tunduk pada kekuatan tersebut.

Beberapa tahun setelah percakapan dengan ronal, aku hijrah ke Yogyakarta untuk studi s2, tahun 2012 aku memutuskan untuk meninggalkan kota medan untuk membenamkan diri dalam lautan ilmu di kota yang disebut Cak Nun sebagai gudangnya ilmu nusantara.

Sekitar pertengahan bulan september 2014 aku berjalan-jalan ke Gramedia di jalan Sudirman, kota Yogyakarta. Aku melihat buku yang cukup tebal berwarna putih berjudul “Anak-Anak Revolusi”, karya Budiman Sudjatmiko. Dalam hatiku berkata, “Wah, politisi buat buku, apa ini? autobiografi atau tebar pesona menjelang pileg kemarin?” Sikap skeptis awalnya melingkupiku memandang buku itu. Pada dasarnya gampang saja bagiku untuk menilai suatu buku layak atau tidak untuk dibaca.

Cukup saja buka halaman secara acak, dan baca sepenggal paragraf di lembaran tersebut setelahnya kau akan tahu apakah buku tersebut layak dibaca atau tidak. Sialnya, ketika aku membuka buku Anak-Anak Revolusi-nya Budiman, aku bertemu dengan kalimat magis, dan sampai saat ini masih menohok-ku sebagai seorang pecinta buku. Kalimat itu berawal dari diskusi Budiman dengan seniornya di SMA, Herman namanya kalau aku tidak salah, saat itu ia berkata, “kamu tidak boleh hanya mendapat ilmu baru setelah membaca sebuah buku, tapi kamu harus menjadi manusia baru”. Wow, ini merupakan hal baru yang aku temui dalam buku ini. ah, darahku langsung mengalir lebih cepat seperti biasanya, jantungku berdentam lebih kencang, seperti alunan Bolero Karya Maurice Ravel yang berdentam seperti suara kaki prajurit dalam sebuah barisan kavaleri.

Belum lagi aku membaca mozaik tulisan Budiman yang sengaja diciptakannya dalam bentuk “cerita lain”, yang diberikan judul “cakar-cakar kekuasaan”, dari sana aku bertemu satu kalimat masterpiece darinya, “tubuh akan jujur ketika adrenalin telah pergi”. Aha, aku harus beli buku ini, ini buku gila, dan aku WAJIB untuk memilikinya. Namun mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, dompetku hanya dijaga oleh “Sultan Mahmud Badarudin II” beserta kembarannya berjumlah 3 orang. Alahmak, inilah yang aku paling benci kalau ke toko buku di pertengahan atau akhir bulan, yang ada buat ngiler. Apalagi ketemu dengan buku gila seperti ini, sungguh menyesal aku menuruti penasaranku untuk membaca sekilas buku Anak-Anak Revolusi dari Budiman ini. Tak kusangka dampaknya begitu sistemik melebih dampak sistemik bailout Bank Century mungkin. Jadilah aku berbulan-bulan kemudian bisa membeli buku itu, tepatnya di tanggal 1 November 2014 Rp. 95.000; harganya.

Aku percaya pada kekuatan sebuah buku, hal ini aku buktikan di diriku sendiri. Saat di lingkunganku kuliah ke luar kota, utamanya ke Jawa merupakan sesuatu hal yang langka, aku memberanikan diri untuk merantau menuntut ilmu guna studi lanjut. Pemantiknya aku dapatkan dari buku, ya, aku digerakkan oleh buku. Tepatnya buku “Islam dalam bingkai keIndonesiaan dan kemanusiaan” karya Ahmad Syafii Maarif. Buku ini pertama kali aku lihat ketika mengikuti pengkaderan IMM tingkat madya, di kota Malang.

Aku melihat temanku membaca buku itu untuk membuat narasi besar yang harus kami selesaikan setiap malam sebagai tugas harian selama pengkaderan berlangsung. Sejak saat itu, fikiranku mulai teracuni dengan ide-ide pembaruan Islam. Dengan gaya tulisan khas “minang” yang Buya Maarif miliki, aku sangat menikmati setiap alur yang ia tuturkan dalam tulisan itu. Hingga akhirnya, karena buku itu, setelah wisuda sarjana orangtua ku berkata akan kemana setelah ini, aku dengan gagah beraninya menjawab, “aku ingin s2 di jogja”.

Kampus mana, mau ambil apa? Orangtuaku bertanya lanjut. Kampus UIN sunan kalijaga jurusan politik dan pemerintahan Islam, jawabku. Sialnya, jurusan itu jauh dari studi sarjana ku, tapi biarlah, aku ingin menuntaskan penasaranku terhadap perkembangan pemikiran Islam yang sekarang sedang marak, itu saja inginku saat itu. Jika buku Buya tersebut merupakan tonggak pertama yang mengantarkanku untuk menyelami lautan ilmu, maka buku Anak-Anak Revolusi adalah tonggak kedua dalam sejarah kehidupanku yang memberikan peta kemana aku harus berjalan dengan ilmu yang telah kudapatkan.

Setelah membaca buku Anak-anak revolusi ada beberapa hal yang aku rasakan perbedaannya. Salah satunya aku semakin mencintai musik klasik. Utamanya Canon dari Johan Pachelbel, yang setiap pagi ku putarkan mengisi hariku diiringi dengan Bolero dari Ravel serta masterpiece dari Beethoven, symphony 5 yang selalu membuat hati menjadi semangat. Setelah musik klasik, aku “mulai” belajar mencintai sains, yang dulu sebelumnya amat aku takuti.

Semesta seperti mendukung akan cintaku pada sains, bersamaan dengannya keluarlah film besutan Christopher Nolan, “Interstellar”, film fiksi sains yang mencoba menggambarkan konsep 5 dimensinya. Kemudian baru-baru ini juga keluar The Immitation Game, tentang Alan Turing yang berhasil memecahkan “Enigma” Jerman yang berhasil membuat sekutu menyudahi perang dunia II. Semua film tersebut, aku taunya dan semakin memaksaku untuk harus menontonnya, dari twitter Budiman, luar biasa bukan? Setiap hari rasanya aku harus me-“ngepo”-in twitter Budiman untuk melihat apa yang baru. Seperti buku, film, Real Madrid, dll. Membaca twitt-twit Budiman rasanya seperti membaca kamus dan selalu menghadirkan daftar menu baru yang harus dilahap sesegera mungkin. Buku Anak-Anak Revolusi, menyajikan daftar menu buku, film, bahkan musik yang harus didengar, syukurnya beberapa rekom dari Budiman telah ku lahap, beberapa juga ada yang belum, dan masuk dalam prioritas pembelian di awal bulan depannya.

Satu hal yang paling berbeda setelah aku membaca buku anak-anak revolusi ini adalah aku tak lagi betah berada di menara gading. Bahkan aku saat ini mulai mempertimbangkan untuk mengurungkan niat melanjutkan studi doktor yang sebelumnya telah ku impikan sejak dulu. Aku ingin terjun ke masyarakat, kembali ke kampung halamanku di Kota Medan mendirikan LSM bersama teman-teman, yang fokus dalam studi konstitusi dan penguatan masyarakat madani. Bahkan kemarin saat berkesempatan pulang ke Medan satu bulan aku sudah mulai menghimpun relasi-relasi dari teman-teman sejawatku ketika masih di Medan untuk mendobrak kebiasaan yang salah saat perayaan tahun baru.

Saat dimana orang-orang membuang uangnya untuk membeli terompet dan menyalakan kembang api, aku bersama teman-temanku menerobos lalu lintas yang padat itu untuk memberikan sebungkus nasi pada mereka yang membutuhkan. Ada semacam kecanduan sendiri ketika melihat mereka tersenyum pada kita, mungkin dalam senyumnya terkandung senyuman Tuhan, yang memang selalu ada dalam jeritan kaum miskin. Jika boleh aku menyimpulkan, dan pastinya simpulan ini subjektif, setelah membaca anak-anak revolusi aku telah menjadi manusia baru yang selalu gelisah, berontak melihat sebuah hal yang tidak ideal dan semakin kuat keinginan untuk mengabdikan diri di lingkunganku. Semoga…

Share This Article