Lawan

fitrahbukhari
5 Min Read
gambar (http://1.bp.blogspot.com/)

Tidak banyak buku yang bisa begitu memainkan emosi jiwaku selama ini. membacanya ibarat berada di tengah gelombang pasang tsunami yang membawa keatas, kebawah, digulung dalam gelombangnya. Kita dibawa mengalun mengikuti arus yang dibawa sang penulis. Hal inilah yang kualami setelah mengikuti dua dari empat tetralogi buru karya Pramoedya Ananta Toer.

Bumi manusia dan anak semua bangsa membuatku mengetahui genealogi psikologi masyarakat nusantara di awal abad 20. Untuk ukuran zaman tersebut, dialog maupun jalan cerita yang ditulis Pram, amat maju di jalannya. Bagaimana mungkin sampai saat ini pun juga tidak terlalu lazim seorang pribumi menikah dengan peranakan eropa. Seakan tulisan-tulisan Pram mengajarkan kita untuk memandang bahwa dunia ini tidak hanya berisi aturan-aturan maupun norma sosial yang baku. Di dalamnya juga ada aturan yang menurut kita tak lazim, namun ternyata menyimpan pesan yang dalam daripada mereka yang hidupnya flat.

Bumi manusia umumnya masih membangun logika cerita. Dalam buku ini kita diajak untuk membaca karakter satu persatu manusia yang ada di dalam cerita, lengkap dengan kebiasaan masing-masing. Pram bahkan dengan lugas mengungkapkan ketika orang Jawa menghadapi Belanda, seakan tengkuk mereka sudah dijatuhi beban berpuluh kilo sehingga untuk menegakkan saja mereka kesulitan. Hal inilah yang sudah sengaja diciptakan lama oleh Belanda. Ia tak hanya menjajah bumi, menguras segala hasil alam nusantara, Belanja juga menjajah mental anak-anak Nusantara dan menguras rasa percaya diri anak bangsa untuk bergerak maju.

Adalah Minke yang menjadi fokus dalam pembahasan dalam tetralogi Buru Pram. Minke digambarkan sebagai anak bupati yang memiliki kesempatan langka untuk sekolah di H.B.S. Surabaya. Lurusnya jalan hidup Minke berubah manakala ia diajak oleh Robert Suurhof ke tempat temannya, keluarga Mellema. Dari pertemuan singkat itu, Minke menyimpan rasa pada Annelies, putri manis turunan Belanda yang lahir dari rahim seorang nyai pribumi terkenal, Nyai Ontosoroh alias sanikem.

Dari pertemuan tersebut, benih cinta antara keduanya pun timbul, hingga mereka pun menjalin asmara. Antara keduanya tak terpisahkan, bahkan hubungan mereka semakin hari semakin lengket saja. Annelis, sosok yang sebenarnya periang, kini tak bisa dipisahkan dari Minke. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dalam waktu dekat, setelah Minke menamatkan sekolahnya di H.B.S. Surabaya. Jika kita membayangkan pernikahan membawa kebahagiaan pada mereka, tentunya kita akan salah total. Dari pernikahan mereka ternyata muncul babak baru dalam kehidupan Minke, Annelies dan Nyai Ontosoroh.

Cerita ini bermula dan seakan bertumpuk menghujam ke jantung pertahanan mereka. Dari mulai kasus pembunuhan tuan Mellema, suami Nyai ontosoroh, hingga misteri kaburnya robert mellema, anak nyai ontosoroh yang pertama. Kedua kasus ini berujung pada sidang pengadilan dengan terdakwa babah ong, pemilik rumah bordil terkenal di surabaya.

Namun esensi persidangan bukan itu ternyata, karena pribumi menjadi pihak terkait dalam kasus itu, selain menyidangkan terdakwa, hakim dengan semena-mena juga menyidangkan para pribumi, yang sebenarnya tak ada relevansinya dengan pengungkapan kasus tersebut. Tak berhenti sampai disitu, setelah reda kasus pembunuhannya, adalagi kabar berita bahwa pihak istri pertama Mellema yang ada di Belanda meminta hak waris dari kematian Mellema. Warisan yang dimaksud adalah anak Mellema yakni Annelies dan perusahaan yang dimiliki Mellema yang dikelola secara sungguh-sungguh oleh Nyai Ontosoroh.

Nyai Ontosoroh sadar benar bahwa perlawanannya terhadap rezim tirani kolonial tak akan merubah posisi mereka dalam mempertahankan Annelies dan perusahaannya. Berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan Annelis untuk dibatalkan kepergiannya ke Belanda. Minke yang seorang penulis memilih jalur perang menggunakan pena. Bahkan Nyai ontosoroh mencoba untuk berjudi dengan menyewa advokat kondang dari Semarang. Mereka sudah tau bahwa usaha mereka tak akan merubah apapun kecuali kepergian Annelis, pujaan hati mereka ke Belanda. Tetapi dengan gagah beraninya mereka melawan.

Semua orang sudah mafhum, akan kalahnya mereka di persidangan Belanda. Namun kondisi itu bukanlah hal yang esensi bagi mereka. Selama ini kita sering diperhadapkan untuk apa melawan sesuatu yang telah pasti terjadi. Namun bagi tokoh protagonis yang ada di buku ini, bukan itu yang esensi. Yang esensi adalah perlawanan dari kita, apapun yang terjadi kita telah mencoba melawan. Dalam perlawanan itulah kita menjadi pemenang sejati…

Share This Article