“Majma’ al-Bahrain”

fitrahbukhari
9 Min Read
Ilustrasi: zenshifu.com

Tentunya kita sudah sering membaca surat al-kahfi, bahkan hampir tiap minggu, jika tiada aral melintang, aku selalu menyempatkan untuk membaca surat ini. Sebagai seorang yang menganut faham rasionalisme, awalnya aku tidak percaya ketika ada yang mengatakan bahwa membacanya akan membuat wajah menjadi cerah, bersih dan lain sebagainya. Ku fikir, sejak kapan pula sebuah surat dalam al-qur’an berubah fungsi menjadi “krim pencerah wajah”, ada-ada saja orang ini fikirku dulu.

Namun belakangan aku seperti terhenyak melihat perbedaan mendasar wajahku ketika satu minggu tidak membaca Al-Kahfi. Ya, aku merasa wajahku sedikit kusam dengan warna kemerah-merahan. Amat beda ketika minggu-minggu lalu ketika aku membacanya, aku merasa wajahku seperti putih berseri. Ah, entahlah, mungkin memang Allah membukakan aura wajah hamba-Nya yang mau mendekatkan diri pada-Nya dengan berbagai cara, itu saja hipotesisku.

Berbicara soal surat al kahfi ini, yang bisa ku tangkap, surat ini terdiri dari beberapa cerita, selain kisah inti yang menginspirasi nama surat ini perihal kisah tentang pemuda yang tinggal di dalam gua selama beratus tahun. Juga ada kisah tentang Zulkarnain yang membangunkan benteng untuk penduduk sebuah negeri yang merasa diganggu oleh makhluk yang bernama ya’juj ma’juj. Bagiku, zulkarnain ini merupakan orang cerdas di masanya, dalam surat ini aku melihat prinsip-prinsip dasar solder atau las dalam dunia bangunan. Bagaimana sebuah besi didirikan secara setara, kemudian ditiup hingga merah dan selanjutnya dilengketkan dengan tembaga yang mendidih. Seperti las atau solder bukan?

Selain kedua kisah itu, ada satu kisah yang bagiku amat inspiratif, sekaligus masih menjadi misteri yang senantiasa menggangu fikiranku. Yakni tentang kisah pertemuan Nabi Musa dengan seorang hamba-yang dalam bahasa qur’an digambarkan sebagai-“orang yang kami beri rahmat dan diajarkan ilmu dari sisi kami”. Dugaan orang banyak mengarah kepada Nabi Khidr, nabi yang tidak masuk dalam deretan nabi yang wajib diketahui yang berjumlah 25 itu. Namun khidr merupakan salah satu nabi yang paling fenomenal, karena perjumpaannya dengan Musa, diabadikan dalam Qur’an.

Selain itu dikarenakan musa benar-benar bertekuk lutut dari segi manapun utamanya dalam hal keilmuan, yang digambarkan ketika mereka berjalan bersama. Sebagaimana dikisahkan dalam qur’an, Musa dan Khidr bertemu di Majma’ al bahrain, tempat bertemunya dua sungai/air. Aku pernah mendengat tafsir dari Cak Nun yang mengungkapkan bahwa pertemuan mereka di majma’ al bahrain ini merupakan suatu pertanda “perkawinan” antara dua kutub ilmu. Musa mewakili ilmu “syariat”, yang masih menitikberatkan pada pengamalan-pengamalan yang tampak, ilmu mainstream pada umumnya, sementara khidr sudah jauh berdiri lebih di depan dengan konsepnya, yang berada pada dataran ilmu “ma’rifat”.

Jadi setinggi apapun ilmu syariat yang dimiliki Musa, ia tetap akan bertekuk lutut tanpa dibarengi dengan ma’rifatnya Khidr. Karena dalam berbagai hal, ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata telanjang sebelum ditelusuri makna hakikatnya. Karenanya kemudian dalam surat al kahfi ini, Musa berulang kali tidak bisa menerima apa yang khidr lakukan seperti menenggelamkan sebuah kapal, membunuh anak kecil, dsb.

Melihat kisah musa dan khidr, aku jadi teringat sebuah buku mungil yang pernah ku tuntaskan. Judulnya “Islam sebagai Ilmu”, penulisnya Kuntowijoyo, intelektual asal UGM yang concern di bidang sejarah, sosial dan keislaman. Buku ini ibarat sebuah oase di tengah maraknya upaya untuk melabelisasi segala sendi kehidupan dengan kata-kata Islam. Contoh nyata bisa kuterangkan di “mantan” Kampusku, UIN suka.

Beberapa jurusannya mencoba memberikan nama Islam dibelakang namanya, seperti Politik islam, sosiologi Islam, komunikasi Islam, Psikologi Islam yang semuanya ternyata tidak jauh berbeda bangunan keilmuannya daripada ilmu murni, yang tanpa memakai embel-embel islam. Satu-satunya hal yang membendakannya justru hanyalah bidang kajiannya yang lebih disempitkan, yakni di dalam lingkup Islam saja. Satu contoh politik Islam, dari segi teori, bangunan keilmuan sama sekali tidak memiliki perbedaan dengan ilmu politik lain, yang membedakan adalah bahan penelitiannya adalah bagaimana menangkap fenomena kuasa dalam “masyarakat Islam”.

Jadi kadang aku berfikir, tempelan Islam itu sendiri justru mempersempit bahasan yang akan dipilih? Timbul hasrat liarku yang menyatakan, jika begini, maka sejatinya agama itu bukanlah sebuah “pembebasan’, melainkan “pengekangan”, “penyempitan”. Benarkah demikian? Sesuaikah hal demikian dengan doktrin Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin, rahmat untuk seluruh alam semesta?

Bagi Kunto hal demikian merupakan paradigma yang terbalik. Mengapa demikian? Kunto mengawali jawabannya dengan memberikan salah satu contoh yakni seringnya umat Islam mengklaim berbagai temuan di bidang keilmuan telah tercantum dalam Al-qur’an. Apa yang diciptakan oleh peradaban di luar Islam, dianggap tidak Islam, dan paling parah menuduhnya dengan memplagiasi dari umat Islam.

Karenanya kemudian, banyak sebagian kalangan mengatasi permasalahan ini dengan “sekedar” melabelisasi ilmu tertentu dengan label islam dengan tujuan agari ilmu tersebut bisa menjadi “islam”. Kunto kemudian memberikan syarat bahwa jika memang umat Islam mengakui bahwa di dalam qur’an terdapat berbagai macam teori yang dapat dijadikan rujukan, mengapa tidak kemudian mengkonstruk teori atau prinsip tersebut menjadi sebuah ilmu yang utuh. Qur’an, menurut Kunto berisi prinsip-prinsip umum, paradigma besar yang memerlukan sentuhan fikiran manusia untuk dijadikan sebuah bangunan keilmuan yang menyegarkan peradaban manusia.

Di tengah cibiran umat Islam, bahwa peradaban barat telah musnah, telah berakhir di medio 70-an yang ditandai dengan munculnya pemikiran pos-modernisme, yang mulai menyadari pentingnya kehadiran sisi “religiusitas” dalam kehidupan sehari-hari, maka perlu diberikan sebuah paradigma baru untuk mengisi kekosongan yang terjadi. Paradigma yang dapat dijadikan harapan untuk “memanusiakan manusia” yang telah gagal dibawa oleh peradaban barat.

Kunto kemudian meminjam pendapat dari ahli “revolusi” di bidang sains, yakni Thomas S. Kuhn yang menghasilkan karya monumentalnya dalam sebuah buku mungil yang berjudul The structure of Scientific Revolution. Kuhn menilai bahwa sebuah ilmu (utamanya paradigma dalam sebuah bangunan keilmuan) juga dapat mengalami revolusi yang bergiliran. Ada empat tahapan yang dikemukakan Kuhn dalam karyanya ini. pertama, Ilmu normal yang diartikannya sebagai periode akumulasi ilmu pengetahuan di mana para ilmuwan berkarya untuk mengembangkan paradigma yang menjadi mainstream pada saat itu. Namun begitu, beberapa kelompok ilmuwan membentuk kubu baru yang mencoba untuk menentang konsep mainstream tersebut.

Ilmu normal ternyata memiliki beberapa kelemahan, yang berdampak pada tidak bisanya paradigma tersebut menjelaskan temuan-temuan tertentu. Kedua, anomali, yang merupakan efek dari ketidakmampuan paradigma tersebut dalam menjawab hal tertentu. Ketiga, krisis, hal ini awalnya dari Terjadinya anomali yang memuncak di tengah masyarakat. krisis, demikian menurut Kuhn akan menjadi pintu masuk dari revolusi sebuah ilmu. Paradigma dominan akan digantikan oleh paradigma baru dan merebut posisinya di pusat ilmu. Paradigma dominan baru, muncul dan kemudian terjadi anomali, krisis dan revolusi, hal tersebut terjadi dengan terus berputar melingkar prosesnya.

Dari konstuk yang dibangun Thomas Kuhn, Kunto menyiratkan bahwa umat Islam harus senantiasa “membongkar” Qur’an, jika memang meyakini bahwa di dalamnya berisi sumber mutiara yang belum ditemukan. Klaim kebenaran sepihak, usaha untuk mengislamisasi ilmu, tidak akan ada artinya, dikarenakan yang harus di-“Islam”-kan justru bukan ilmunya, melainkan paradigma orang yang memandang ilmu tersebut. Ilmu itu sejatinya bersifat objektif dan tidak memihak. Lihatlah seperti teknologi nuklir yang jika berada di tangan orang yang “waras” maka akan dapat membangun pembangkit listrik tenaga nuklir. Namun akan lain cerita jika jatuh di tangan orang yang terganggu kesehatan jiwanya, ia dapat digunakan sebagai bom bertenaga nuklir yang memiliki daya ledak dengan kemampuan menghancurkan sebuah kota.

Pada prinsipnya, umat Islam tidak perlu heboh mengklaim bahwa semua fenomena alam semesta beserta isinya terdapat di dalam Qur’an. Jika tidak diiringi dengan kemampuan untuk menjawabnya dengan membangun sebuah teori yang berasal dari paradigma Qur’an. Berkaitan dengan itu, umat Islam harus terlebih dahulu mencari Majma’ al bahrain untuk menjadi tempat tumbuhkembangnya kecerdasan syariat-nya Musa (teori dalam sebuah ilmu) haruslah disi dengan sebuah kecerdasan ma’rifat-nya Khidr (paradigma Qur’an). Keduanya harus dipertemukan dalam satu wilayah yang mampu menghasilkan persenyawaan yang aktif bagi kesejahteraan manusia beserta makhluk lainnya. Itulah yang sejatinya dinamakan Islam Rahmatan lil’alamin…

Share This Article