Manipulasi Simbol Agama

fitrahbukhari
11 Min Read
Close-up of office desk with organizer and ballpen

Buku ini merupakan tesis al-Zastrouw dalam menyelesaikan pendidikan program pascasarjana Universitas Indonesia. Penelitian dimulai di awal tahun 2000 hingga pertengahan 2002. Oleh karenanya diakui penulis buku, dengan jauhnya rentang kondisi sosial saat penulis melakukan penelitian dengan keluarnya buku ini, (4 tahun) maka dapat dimungkinkan perubahan data dan fakta seperti bentuk, format dan aturan yang ada dalam FPI, yang merupakan fokus kajian penulis.

Perlu diungkapkan, bahwa saat penelitian berlangsung sistem organisasi FPI masih longgar, administrasinya masih belum rapi dan tertib. Hal ini jelas berpengaruh pada mekanisme kerja organisasi FPI, bisa jadi sekarang mekanisme dan sistem manajemen FPI sudah jauh lebih baik daripada saat penulis buku ini melakukan penelitian.

Secara sosiologis, Zastrouw mengungkapkan empat kelompok di internal FPI, yakni  masyarakat awam, preman dan anak jalanan,  intelektual dan akademisi, haba’ib dan alim ulama (hal. 101). Masyarakat awam memiliki akar sosial marginal, umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang kecil, buruh dan dibesarkan dari lingkungan sosial yang non agamis.

Oleh karenanya mereka memiliki motivasi bergabung dengan FPI untuk mencari ketenangan hidup dan menumbuhkan harapan atas datangnya kebahagiaan di kemudian hari. Bagi mereka mendengarkan pengajian, ceramah dan mengharap ke-“berkah”-an dari para haba’ib menjadi suatu alasan logis untuk membawa mereka bergabung bersama FPI. Adapun Kelompok preman dan anak jalanan yang bergabung dengan FPI memiliki akar sosial yang beragam, tidak jarang mereka memiliki akar agama yang cukup kental, namun dibesarkan dari lingkungan yang non-agamis.

Motivasi kelompok ini bergabung dengan FPI sebagaimana diungkap penulis buku, yakni untuk mencari perlindungan atas tindakan kejahatan yang mereka lakukan, selain itu agar dapat meningkatkan bargaining di hadapan pengusaha pasca menyelenggarakan kegiatan FPI. Sedangkan kelompok intelektual dan akademisi kebanyakan berasal dari kelompok menengah, mapan ekonomi dan sosial namun berasal dari kalangan non-agamis. Motivasi mereka bergabung dengan FPI ialah untuk mendapatkan legitimasi agama guna melakukan mobilisasi sosial dalam masyarakat awam.

Kelompok terakhir dan termasuk “elit” ialah kelompok haba’ib dan alim ulama. Para haba’ib berasal dari kelompok agamis, termasuk kelas menengah, mereka umumnya memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dengan membangun jaringan antara tentara/mantan pejabat dengan pengusaha.

Hal baru menurut peresensi yang coba ditawarkan buku ini ialah deskripsinya tentang pertukaran sosial gerakan FPI dengan kelompok masyarakat lain. Dengan menggunakan teori pertukaran sosial Geoge C. Homans dan Peter Blau yang dirasa penulis buku relevan untuk membedah fenomena FPI,–setelah sebelumnya gagal menerapkan teori konstruksi sosial Peter L. Berger maupun teori modernisme dan fundamentalisme–buku ini cukup berani dalam mengungkap premis yang ada.

Penulis buku mengungkapkan alasannya untuk menggunakan teori pertukaran sosial, fakta mengungkapkan bahwa yang diperjuangkan FPI bukanlah norma Islami seperti keadilan, kebaikan, kemaslahatan dan kejujuran. Yang terjadi justru mereka melakukan eksploitasi terhadap kelompok lain. Hal ini didapat penulis buku melalui penelitiannya dan ikut terjun langsung dalam gerakan FPI, maupun berbicara dengan pemilik usaha hiburan di Mangga Besar dan Kemang (hal. 147).

Suatu contoh Argumen para petinggi FPI ialah untuk meminta uang “keamanan” pada pengusaha tempat hiburan malam, modusnya ketika massa FPI menghancurkan tempat hiburan, beberapa petinggi FPI melakukan negosiasi dengan pemilik usaha tersebut untuk kemudian melakukan bargaining, jika kedua belah pihak setuju dengan “angka”nya, maka massa pun akan membubarkan diri. Dari data tersebut penulis buku berkeyakinan bahwa gerakan FPI lebih ingin melakukan sebuah pertukaran sosial daripada mendorong suatu norma atau ideologi tertentu.

Keadaan demikian hadir bukanlah tanpa sebab, pasca jatuhnya rezim Soeharto di tahun 1998, tentara, birokrat dan penegak hukum mengalami disfungsi, sedangkan LSM, mahasiswa, gerakan kiri (yang pada masa orde baru dikebiri) serta kelompok kepentingan lain mencoba memaanfaatkan ke”binal”an reformasi untuk memasukkan pengaruhnya ke dalam sistem sosial bangsa yang sedang kacau.

Penulis mengatakan, menghadapi keadaan demikian, tentara tidak dapat menghadapi gerakan kiri tersebut secara diametral, oleh karenanya dibutuhkan sebuah kekuatan baru yang memiliki legitimasi kuat baik secara sosial, politik maupun moral (hal. 151). Selain itu dari disfungsinya penegak hukum, menimbulkan lahirnya kelompok yang mengharapkan perlindungan, yakni kelompok pengusaha. Pengusaha harus mencari perlindungan dari kelompok keamanan informal akibat mandulnya para penegak hukum.

Dengan keadaan yang demikian, FPI memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam gelanggang politik sekaligus menjangkau akses ekonomi, karena menurut hemat penulis, FPI memiliki legitimasi kuat, yang berasal dari pandangan masyarakat yang sulit membedakan mana dogma dan simbol, ajaran dan ritus serta antara budaya dan norma. Masyarakat Indonesia menurut penulis buku masih belum rasional sikap beragamanya. Bahkan pada titik tertentu, masyarakat lebih mencintai simbol dan ritus agama daripada substansi nilai agama.

Masyarakat lebih “marah” manakala simbol Islam (jika memang layak dikatakan simbol) dilecehkan, namun secara sadar mereka sering mencabik-cabik substansi ajaran itu sendiri. Hal ini memudahkan pihak tentara yang tidak perlu terjun langsung untuk melakukan operasi politik, karena akan dijalankan oleh FPI–yang menggunakan simbol dan ritus–yang menurut penulis buku, masih dianggap masyarakat merupakan agama itu sendiri–sehingga masyarakat turut mengamini program politik tersebut karena menganggap bagian dari syi’ar agama.

Kondisi demikian menunjukkan telah terjadi sebuah pertukaran sosial–yang dinyatakan Homans sebagai interaksi sosial yang mempertukarkan barang dan jasa di mana setiap aktor berjuang untuk mengurangi ongkos dan memaksimalkan keuntungan–antara kelompok Islam  radikal FPI, tentara dan juga mantan penguasa di negeri ini maupun dengan kelompok pengusaha.

Pemimpin FPI memiliki massa dan legitimasi moral dan sosial, menginginkan aset ekonomi-politik, sedangkan tentara dan mantan penguasa orde baru memiliki akses politik, kekuatan jaringan organisasi modal dan ongkos untuk dipertukarkan guna memenuhi kepentingan politiknya. Sedangkan kelompok pengusaha-yang menurut penulis buku merupakan kelompok yang paling lemah–hanya memiliki uang untuk dipertukarkan. Dengan melihat orientasi dan garis perjuangan FPI, maka penulis buku mengkategorikan gerakan FPI sebagai gerakan Islam radikal-politis. Dikarenakan gerakan ini tidak memiliki basis ideologi yang jelas, dalam arti tidak memperjuangkan ideologi keagamaan tertentu, tetapi justru lebih merupakan gerakan politik yang menggunakan simbol agama.

Secara keseluruhan buku ini menghadirkan sesuatu yang baru dan berani dalam mengungkap fenomena gerakan Islam FPI, khususnya mengenai pembedahan secara mendalam tentang pertukaran sosial antara segitiga FPI—TENTARA–PENGUSAHA. Namun begitupun, buku ini tidak lepas dari kesalahan yang kiranya dapat diminimalisir. Menurut peresensi, karya ini tidaklah “bebas nilai”, sebagai karya akademik, semacam menjadi keharusan bahwa sebuah karya tulis ilmiah, harus bebas nilai.

Namun yang peresensi temukan setelah melakukan pembacaan terhadap karya ini, penulis buku sudah memiliki asumsi awal yang cenderung negatif terhadap gerakan Islam FPI. Beberapa kali penulis buku bukan terlihat seperti menyajikan data, melainkan cenderung terlihat menghakimi gerakan FPI. Selain itu ketika memasuki tentang pembedahan realitas FPI dengan menggunakan kacamata teori pertukaran sosial ada missing link. Hal ini didapati ketika secara serta merta penulis buku menyandingkan mantan pejabat orde baru dengan tentara sebagai pihak pertama yang melakukan pertukaran sosial dengan FPI.

Darimana datangnya mantan pejabat orde baru itu, dan bagaimana dia melakukan pertukarannya dengan FPI, apakah sama dengan yang dilakukan oleh tentara, tidak diungkap oleh penulis. Kemudian mengenai otentisitas data yang tidak banyak peresensi temukan. Misalnya keterlibatan mantan pejabat orde baru, gambaran jaringan dan sistem kerja gerakan FPI tidak ditampilkan. Alangkah bisa lebih baik lagi jika buku ini menghadirkan data yang kuat mengenai jaringan dan sistem kerja FPI, jadi agar tidak terkesan penulis membombardir FPI dengan asumsinya sendiri tanpa ada data yang kuat.

Begitupun upaya penulis buku ini patut untuk diapresiasi tinggi, ditengah hujatan yang diterima FPI di media, kiranya buku ini mampu untuk menghadirkan sebuah data, bukan hanya perang opini media yang belum tentu kebenarannya. Dengan data dan penggunaan teori yang mapan, buku ini cukup baik untuk kategori metamorfosa karya ilmiah menjadi buku lepas.

Potensi yang dimiliki gerakan FPI sebenarnya cukup besar, antara lain figur haba’ib yang masih dianggap legitimate oleh sebagian masyarakat Indonesia memiliki potensi untuk melakukan transformasi agama. Peran ini bisa juga dilakukan dengan memberikan pemahaman keagamaan yang kritis, rasional, dan transformatif. Pada titik yang paling jauh, FPI semestinya dapat menjadi agen perubahan sosial di tengah kebekuan yang melanda negeri ini. FPI kiranya mampu menjadi oase di tengah kemandekan hukum, drama penyanderaan elite politik, elite parpol, lengkap dengan perselingkuhan dengan pengusaha.

Legitimasi sosial dan moral FPI hendaknya jangan dijadikan sebuah komoditas guna meningkatkan bargaining pemimpin FPI maupun mendapatkan akses ekonomi. Kedepan, harapannya FPI mampu untuk mereformasi cara dakwahnya dengan menghilangkan (baca: memindahkan) kekerasan terhadap tempat hiburan menuju arah pendobrakan kebekuan sistem hukum dan politik. Sekali waktu kiranya perlu FPI menggrebek rumah pejabat yang korup, kepala daerah, anggota dewan yang gemar bermain dana bansos maupun proyek kementrian yang nyata-nyata melakukan perbuatan yang munkar dan merugikan masyarakat banyak.

Indonesia masih butuh FPI, tetapi bukan FPI yang menggunakan simbol dan ritus agama untuk mendapatkan akses ekonomi dan politik. Namun FPI yang santun, yang membawa nilai-nilai Islam yang luhur, agar mampu menjadi agen perubahan sosial di Indonesia, karena sejatinya itulah Islam, yang rahmat untuk semesta alam.

gerakan_simbolik

Judul buku      : Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI
Penulis             : Al-Zastrouw Ng.
Penerbit           : LkiS
Tahun Terbit    : 2006
Halaman          : 210 Halaman
ISBN               : 979-25-5254-5
Ukuran            : 12 x 18 cm

*Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

TAGGED:
Share This Article