Menakar Otsus Kalimantan

fitrahbukhari
6 Min Read
gambar (http://thumbs.dreamstime.com/)

Kondisi kontemporer menunjukkan adanya keinginan dari Provinsi-provinsi di pulau Kalimantan untuk diberlakukan kebijakan afirmatif dari Pusat pada mereka. Permintaan ini didasari ketimpangan pendapatan yang menurut mereka kurang terdistribusi secara merata.

Dalam majalah Tempo edisi 26 Januari – 1 Februari 2015, Gubernur Kaltim, Awang Farouk mengungkapkan daerahnya menyumbang 76,3% penerimaan negara dari hasil Migas. Namun hal tersebut menurut Farouk tidak kembali pada mereka secara wajar, karena kondisinya pembangunan di Kaltim juga masih berjalan bak lambat. Kondisi inilah yang memaksa Gubernur Provinsi Kaltim mendesak Pusat untuk memberikan status otonomi khusus (Otsus) bagi mereka.

Modus permintaan otsus kaltim ini terbilang baru, jika dilacak dari sejarah pemberlakuan daerah otonomi khusus di Indonesia seperti Aceh, Papua, DIY, sebagian besar cenderung berlatar belakang “politis”. Aceh mendapatkan otsus selain dikarenakan daerah tersebut merupakan daerah “modal” dalam usaha Republik mempertahankan kemerdekaan, namun konsesus di Helsinki antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak bisa diredusir begitu saja pengaruhnya.

Papua selain memang pembangunannya tertinggal dibanding wilayah lain, keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Setali tiga uang, DIY, selain karena eksistensi keraton Ngayogyakarto Hadiningrat dalam mempertahankan Republik dalam Agresi Militer Belanda saat usia Republik masih belia, People Power yang berkumpul di alun-alun utara keraton Yogya menuntut diberlakukannya Referendum cukup membuat pusat bergidik.

Dari ketiga pengalaman Indonesia inilah, justru semakin menguatkan pendapat Tri Ratnawati (2006), bahwa salah satu tujuan pemberian Otsus adalah untuk meredam kelompok “separatis”/pemberontakan dalam sebuah negara. Bahkan, dalam perkembangan terakhir, otsus dinobatkan sebagai salah satu alat untuk bargaining position dari Pusat pada kelompok yang ingin memisahkan diri/memberontak, yang terjadi dalam perundingan Helsinki antara RI dan GAM.

Hal ini perlu dikaji secara mendalam, agar pemberian otsus yang terjadi tidaklah sebatas bargaining position terhadap tekanan dari beberapa kelompok masyarakat. Hal demikian dapat mengakibatkan peminggiran hak masyarakat dan pemerintah pusat tanpa disadari sedang menciptakan kesenjangan baru antara elit dan masyarakat. karenanya, beberapa langkah preventif harus dijalankan pemerintah pusat agar nantinya,-jika kalimantan diberikan otsus-dapat sesuai dengan kebutuhan dan tercapai sasaran yang diinginkan.

Urgensi Pemetaan daerah

Sudah 68 tahun kemerdekaan Indonesia, namun sampai saat ini pemerintah pusat belum juga membuat pemetaan yang jelas tentang potensi dan kelemahan yang ada di masing-masing daerah. Hal inilah yang kerapkali membuat pemerintah seakan “buta arah” untuk mengembangkan potensi maupun menutupi kekurangan yang ada di masing-masing daerah tersebut. Jika ada political will dari pemerintah untuk membuat peta tentang potensi dan kelemahan setiap daerah tersebut, maka sedikit banyak akan mengurangi beban pemerintah pusat.

Setelah mempunyai peta, maka setiap kebijakan pemerintah, akan berdasar pada pengembangan maupun tindakan yang dibutuhkan bagi daerah yang dimaksud. Jika pemetaan telah dibuat, maka pemerintah tidak akan lagi kesulitan jika ada sebuah daerah yang menuntut pemberlakuan otonomi khusus yang tidak sesuai dengan segala potensi maupun kekurangan yang ada di daerah tersebut.

Jika ingin berkaca secara jujur, maka harus diakui pemerintah Pusat, bahwa dalam pemberian kebijakan otonomi khusus, sampai saat ini belum memiliki standar yang jelas. Bahkan pemberian hal tersebut cenderung mengikuti fluktuasi gerakan sentrifugal pemerintah pusat dan daerah. karenanya, permintaan provinsi kalimantan Timur untuk mendapatkan status otsus haruslah dikaji secara mendalam dan komprehensif.

Momentum ini harus dimanfaatkan oleh pemerintah pusat untuk mulai mendata setiap potensi dan kekurangan yang ada di masing-masing daerah agar dapat diperbaiki bersama. Kebijakan “main pukul rata” selama ini menyangkut soal otonomi merupakan paradigma yang keliru. Hal ini dikarenakan setiap daerah memiliki kekhususan yang cara memperlakukannya juga harus berbeda.

Agenda mendesak yang harus dilakukan pemerintah pusat adalah membuat peta terhadap segenap potensi dan kekurangan yang ada di daerah. kemudian untuk mengatasi kesenjangan, maka pemerintah dapat masuk untuk melakukan pertukaran khazanah yang ada di masing-masing daerah.

contoh daerah di pulau jawa memiliki beras yang cukup berlimpah namun minim pasokan ikan, sementara di sulawesi kekurangan beras dan surplus ikan. Kondisi ini dapat digunakan pemerintah pusat untuk menukarkan surplus beras di Jawa, akan dimanfaatkan oleh pusat untuk ditukarkan dengan ikan yang surplus di sulawesi. Pada akhirnya kedua wilayah ini akan merata potensinya.

Pemerintah harus segera merespon dengan serius permintaan dari kaltim ini, hal ini dikarenakan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memperhatikan daerah-daerahnya. Jangan sampai daerah merasa keberadaan pemerintah pusat bak ada seperti tiada. Disamping itu, permintaan Kaltim merupakan permintaan yang dapat terbilang “sopan”.

Hal ini dikarenakan permintaan tersebut tidak diselingi dengan ancaman-ancaman separatis yang dapat dilihat contohnya dari daerah yang menuntut otsus lain. karenanya, pemerintah pusat harus benar-benar serius untuk menindaklanjutinya, sebelum kaltim dan provinsi lain di kalimantan merubah tuntutannya menjadi separatis.

Share This Article